KUPAS KOLOM: Miskin vs Kemiskinan Kabupaten Kebumen

Oleh Arief Luqman El Hakiem
Pemerhati Sosial Kebumen
Ibnu Abdil Hakam (Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.†(Al-Qaradhawi, 1995).
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M) kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Abu Ubaid (Al-Amwâl, hlm. 256) mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak saat itu, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, “Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.â€
Khalifah Umar memerintahkan, “Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.â€
Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, “Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.â€
Khalifah memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.â€
Abdul Hamid sekali lagi menyurati Khalifah, “Saya sudah menikahkan semua yang ingin menikah. Namun, di Baitul Mal masih juga banyak uang.â€
Jauh sebelumnya, yaitu pd masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umar bin Khathab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). Jika 1 gr emas saat ini seharga Rp 400 ribu, berarti masa itu gaji guru mencapai sekitar Rp 25 juta.
Pada masanya pula, setiap tentara berkuda pernah mendapatkan ghanîmah sebesar 6000 dirham (sekitar Rp 75 juta), dan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian sebesar 2000 dirham (sekitar Rp 25 juta). (Ash-Shinnawi, 2006).
Bebrapa hari terakhir ini banyak postingan yang membahas soal kemiskinan. Adanya data yang tidak akurat, bantuan yang tidak tepat sasaran, parameter kemiskinan yang tidak tepat, hingga adanya orang-orang yang mengaku-ngaku miskin, tetapi gaya hidupnya kelihatan seperti orang kaya.
Saat ini Pemda Kebumen juga menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai program unggulan. Bahkan dalam berbagai diskusi, kemiskinan dijadikan sebagai tema, yaitu “Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kebumen”.
Sebagai bahan bagi kawan-kawan, mungkin perlu dilihat secara jernih tentang definisi kemiskinan. Beda antara kemiskinan dengan miskin. Miskin adalah kata sifat sehingga disebut orang miskin. Sedangkan kemiskinan adalah kata benda abstrak, karena ada imbuhan ke-an, yang berarti perihal miskin, atau keadaan/situasi miskin.
Di dalam literatur Islam, ada istilah faqir dan miskin. Faqir adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak memiliki harta atau usaha sama sekali, atau memiliki harta dan usaha tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada tingkat dasar/primer.
Sementara kemiskinan memiliki definisi sendiri. Ada kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, ada juga kemiskinan struktural dn kemiskinan kultural. Jika dikaji dari definisi, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh satu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tersebut tidak mampu memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Alfian, Mely G. Tan, Selo Sumardjan, Kemiskinan Struktural Satu Bunga Rampai, 1980, hal 5).
Sedangkan menurut Edi Suharto, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Sedangkan definisi kemiskinan kultural adalah suatu adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata kelas, individualis dan berciri kapitalis. Kultur tersebut mencerminkan satu upaya mengatasi putus asa dan tanpa harapan yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa musthail dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas.
Sedangkan Oscar Lewis mendefinisikan kemiskinan budaya sebagai kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Pandangan lain mengenai kemiskinan budaya menurut Mudjahirin Thohir adalah ada kaitannya dengan pandangan keliru dalam dimensi keagamaan, yaitu cara pandang jabariyah, di mana keberadaan diri (jatuh miskin) dililihat sebagai takdir bukan karena belum mengoptimalkan usaha. Dari segi sosial, mereka menjustifikasi diri sebagai orang yang trah wadahnya kecil.
Dari segi budaya, mereka “menikmati kemiskinannya ituâ€. Suka menghibur diri seperti: “luwih becik mikul dawet kanti rengeng-rengeng, tinimbang numpak Mercy nanging mbrebes miliâ€; atau menyatakan “donyo kuwi nerakane wong Islam, surgane wong kafirâ€. Suatu penyikapan yang berbeda dengan kaum pemenang.
Dari sini nampak kelas bahwa orang miskin dan kemiskinan akan selalu ada. Namun berbeda cari menanggulanginya. Untuk membantu orang miskin adalah dengan mencukupi kebutuhan primernya/dasar (sandang, pangan dan papan). Dalam Islam ada syariat tentang zakat, infaq dan sedekah untuk penyelesaian secara sosial horizontal. Secara struktural, pemerintah berkewajiban menjamin kehidupan yang kayak untuk faqir, miskin, dan anak2 terlantar. Seperti yang dilakukan pada masa kekhilafan Islam di atas.
Sementara kemiskinan berkaitan erat dengan sistem. Sehingga untuk menanggulangi kemiskinan, pemerintah harus melakukan revolusi mental terlebih dahulu pada masyarakat nya. Masyarakat harus diubah pola pikirnya, ditingkatkan etos kerjanya, digali kreatifitasnya dan diperkuat daya juangnya. Ini bisa dilakukan dengan pelatihan2 soft skill /motivasi yang bersifat mencerahkan.
Kedua adalah membekali mereka dengan ketrampilan dan kecakapan hidup. Kemampuan menggali potensi2 bisnis, kemampuan manajerial, pemasaran dan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien.
Ketiga adalah memberi akses permodalan yang memadai dan terjangkau bagi masyarakat yang tergerak untuk memulai membuka usaha atau ingin mengembangkan usahanya. Strategi pemasaran dengan membuka sentra-sentra atau ruang publik juga sangat penting, di samping membantu penetrasi pasar hingga luar daerah bahkan luar negeri.
Keempat adalah membuka sebanyak-banyaknya lapangan kerja dengan program-program padat karya dan memperbanyak proyek swakelola dengan mengutamakan tenaga kerja lokal.
Kesimpulannya, pemerintah daerah Kabupaten Kebumen perlu merancang satu sistem yang memungkinkan orang-orang miskin mengubah keadaan hidupnya dengan kemampuannya sendiri. Perlu ada program yang nyata dan efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Editor: Marsono Rh, HJA
Leave a comment