Komisi III DPR Pertanyakan Mekanisme OTT yang Dilakukan KPK

RDP Komisi III DPR-RI dengak KPK, Selasa 26/9 (dok. KM)
RDP Komisi III DPR-RI dengak KPK, Selasa 26/9 (dok. KM)

JAKARTA (KM) – Komisi III DPR-RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPK terkait persoalan OTT yang selama ini dilakukan oleh KPK. Anggota Komisi III banyak yang mempertanyakan mekanisme OTT KPK yang mereka duga tidak sesuai dengan KUHAP.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menerangkan bahwa OTT KPK tidak bermuatan kepentingan dari pihaknya. “[Sedangkan] untuk menargetkan seseorang atau partai tertentu, sama sekali tidak,” ucap Saut, Selasa, 26/9, di ruang rapat Komisi III DPR-RI, Senayan Jakarta.

Yang kita lakukan, lanjut Saut, “biasanya secara umum menurut pengalaman hampir semua penanganan kasus itu laporan dari masyarakat, pengaduan masyarakat,” katanya.

“Selain itu ada satu dua dari pemerintahan, dari media, dan temuan dari anggota kami sendiri,” lanjutnya. Namun Saut tidak merinci pernyataannya lebih lanjut.

Saut menambahkan, “boleh dikatakan hampir semua pengaduan dan temuan itu berasal dari masyarakat,” ujarnya.

“Yang dilakukan biasanya adalah penyelidikan terbuka, termasuk nanti kalau lanjut ke penyidikan, dan permintaan perhitungan keuangan Negara,” lanjutnya.

“Tapi informasi yang diterima oleh KPK terkait suap, teknik yang paling tepat dilakukan adalah dengan cara penyelidikan tertutup, jadi tidak selalu kami melakukan penyadapan,” tuturnya.

Sementara Anggota DPR Henry Yosodiningrat mengatakan bahwa OTT KPK tidak sama dengan”Tangkap Tangan” menurut ketentuan Undang-undang. “Kalau demikan KPK membenarkan apa yang saya katakan tadi bahwa pengertian OTT yang dipergunakan oleh KPK tidak sama dengan tertangkap tangan menurut ketentuan UU. Dari penjelasan itu, maka secara tidak langsung membenarkan bahwa benar mereka orang yang terkena OTT itu bukan tertangkap pada saat melakukan tindak pidana,” ujar Henry.

“Oleh karena itu, mungkin jadi suatu masukan bagi KPK istilah apa yang harus dipergunakan, karena dampaknya pada publik itu merupakan suatu pelanggaran terhadap hak mereka,” kata politisi PDIP itu.

Sementara wakil ketua KPK Laode Syarif memaparkan bahwa OTT pihaknya “tidak pernah” menangkap pelaku tindak pidana di saat menerima atau memberi suap untuk yang pertama kalinya.

“Tidak pernah di KPK, atau hampir tidak pernah sama sekali bahwa OTT itu untuk pertama pemberiannya. Selalu yang kedua, atau ketiga … kita juga tidak mau gegabah,” ujar Laode.

“Jadi memang kalaupun ada penyadapan itupun sebenarnya hanya untuk menambah konfirmasi saja.
Dan bisa ditanyakan di pengadilan, antara pemberi dan penerima ini pemberian tidak pernah yang pertama. Selalu yang sudah kedua, ketiga atau keempat,” ucap Laode.

Ia pun membantah bahwa OTT berbeda dari Tangkap Tangan. “Khusus yang berkaitan KUHP kami pikir OTT di KPK itu masih sama dengan tertangkap tangan,” ujarnya.

“Karena dari beberapa unsur UU yang mengatur tentang tangkap tangan ini disebutkan, ‘apabila setelahnya kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan tindak pidana itu, yang menunjukkan bahwa ia pelakunya atau turut melakukan, atau turut membantu melakukan tindak pidana itu.’ Jadi saya pikir unsur ini pas dan sesuai dengan prosedur yang diterapkan oleh KPK,” ucap Laode.

Reporter: Indra Falmigo
Editor: HJA

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*