STS: “Bima Arya Lakukan Politik Kosmetik di Kota Bogor”

BOGOR (KM) – Advokat dan Aktivis HAM yang kini masuk bursa bakal calon walikota Bogor, Sugeng Teguh Santoso (STS), mengkritisi pola kepemimpinan Walikota Bogor petahana, Bima Arya Sugiarto, yang menurutnya menerapkan “politik kosmetik” di Kota Bogor dan mengabaikan nasib warga miskin di Kota Hujan.
Menyoroti baliho “Bogor Sundown Marathon”, Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) itu mengungkapkan keheranannya terhadap sikap Walikota dan Wakilnya yang terkesan tidak satu suara dalam mengangkat acara tersebut. Sementara Walikota mempromosikan acara lari tersebut, Wakil Walikota membuat status di media sosial yang terkesan mengkritik acara tersebut dengan mendorong agar warga “berlari ke Masjid”.
Menurut Sugeng, keduanya “lari dari kenyataan”.
“Bogor ini dipimpin keanomalian; walikotanya bergaya sedang lari, tanpa wakil. Wakilnya mengkritik acara lari dalam statusnya [di media sosial]. Ya mungkin acara lari itu dirancang pada ruang yang berbeda di balkot. Pastinya acara lari dirancang di ruang walikota dengan satu tim event organizer munpuni. Di ruang lain, sang wakil walikota mungkin lagi main gadget karena gak dikasih pendelegasian tugas, setidaknya diminta lari-lari peresmian ini itu,” tutur STS kepada KM melalui WhatsApp kemarin 8/7.
“Yang jadi pertanyaan; ini acara lari kepentingannya apa? Apa dampaknya untuk masyarakat? Jangka pendek, jangka panjang?” kritiknya.
“Pastinya acara tersebut menyedot anggaran. Kalau dianggarkan di APBD mestinya sudah diketahui bersama oleh wakil walikota karena menyusun amggaran itu dilibatkan, tapi kenapa pak wakil bikin status itu?” sambungnya
Pengacara itu juga mengkritisi kebijakan Walikota Bogor yang terkesan melakukan “politik kosmetik” dengan menghabiskan anggaran untuk acara tersebut, sementara masalah klasik warga Kota Bogor masih belum mendapatkan “solusi permanen.”
“Semestinya Pemkot peka bahwa ada kebutuhan yang mendasar yang perlu diselesaikan dengan anggaran darimanapun. Terakhir walikota kunjungan ke rumah yang kena longsor, adalah bagus kunjungan itu,
akan tetapi perlu diketahui longsor setiap tahun terjadi dimana-mana di Kota Bogor tapi tidak juga dapat solusi permanen; hanya ada bantuan terpal dan makanan emergency, selanjutnya terserah anda,” kecamnya.
“Juga sarana-sarana posyandu di kampung-kampung, banyaknya adalah swadaya warga, infrastruktur lingkungan yang masih ada belum dianggarkan, ada lapangan sekedar berolah raga. Di tepi sungai di Sirna Sari sudah dikunjungi oleh Walikota, kata warga 2 kali, tidak juga selesai dikerjakan pengecorannya, dan lain-lain,” kata Sugeng.
Terminal Baranang Siang “Terlantar”
“Terminal ini adalah wajah bopeng yang tidak sempat ditambal oleh Pemkot. Bahkan terminal bagaikan daerah tak bertuan. Pemkot ada tapi di sana dikuasai komunitas terminal, mereka yang sibuk sekarang harus melakukan pengerasan dan pengecoran dengan dana swadaya. Ini kota bertuan atau tidak sesungguhnya?” ucapnya.
Menurutnya, Terminal Baranang Siang adalah fasade Kota Bogor, namun didiamkan “terlantar tanpa penyelesaian.” “Sementara Pemkot bisa mengusahakan dana [untuk] mempercantik kota dengan taman, pedestrian dan Lawang Selapan,” ketusnya.
Pemimpin Kota “Tidak Berempati”
“Silahkan saudara-saudara masuki lorong-lorong pemukiman warga kebanyakan Kota Bogor, rumah petak berdempetan, ukuran 3×4 yang bisa diisi lebih dari 1 keluaraga, sanitasi buruk, pengap, bahkan ada yang kena kebanjiran. Rutilahu yang menebar dimana-mana,” ucapnya.
Menurut Sugeng, Pemkot tidak memperlihatkan keseriusan untuk mengatasi masalah kebersihan di pemukiman-pemukiman padat itu, sehingga warga memilih untuk membuang sampah di sungai.
“Turun saja ke lorong-lorong perumahan padat tersebut, yang ada di lerengan-lerengan kota, daerah aliran sungai. Warga tidak dididik untuk kelola sampah; sungai jadi bak sampah terbesar di dunia. Karena memang tidak disediakan tempat sampah pada wilayah pemukiman dan tidak ada manajemen kelola sampah,” katanya.
“Dua kontras wilayah, pusat kota indah, minus terminal dan kontras pemukiman yang semestinya jadi keprihatinan pimpinan kota, adalah cermin psikologis peminpin kota: tidak berempati.”
“Lari dari Kenyataan”
“Bagaimana bisa seorang kepala daerah bisa tenang lari-lari dengan perencanaan matang, pengambilan angle-angle foto terbaik bersama para selebritas… yang mungkin hadir sementara rakyatnya harus didiamkan, menonton di tengah pergumulan masalahnya. Ini adalah gejala kejiwaan egosentris, megalomania, tidak bertanggung jawab bahkan lari dari kenyataan,” kata Ketua Yayasan Satu Keadilan itu.
Menurutnya, terjadi kesenjangan antara aksi pemerintah dengan kebutuhan warga.
“Dalam situasi rakyat yang sulit, sebaiknya kita berempati dengan tidak mengumbar tindakan-tindakan yang mensegregasikan diri [dari] pergumulan warga. Pemimpin terpisah dari rakyat. Atau rakyatnya yang mau saja dibodohi dan senang dengan pencitraan pemimpinnya?” ucapnya.
Ia mengakui bahwa sebagian kalangan mungkin akan mengatakan bahwa rangkaian kritikannya tersebut adalah “kampanye dan pencitraan” bagi balon Walikota Bogor itu.
“Bisa saja. Yang pasti saya muak dengan politik kosmetik Kota Bogor,” tegasnya.
“Kalau ada yang tersinggung telepon saya saja. Kita diskusi kalau perlu bersama stakeholder kota,” tutupnya.
Reporter: HJA
Leave a comment