Ketua GP Ansor Kota Bogor: Warga Bogor tidak Intoleran! (Bagian 1)
Kota Bogor, 19/11/2015 (KM) – Menyikapi survey yang diadakan oleh Setara Institute yang menempatkan kota Bogor sebagai kota paling intoleran di Indonesia, Ketua GP Ansor kota Bogor Rachmat Imron Hidayat mengatakan bahwa pencitraan tersebut tidak patut dialamatkan kepada warga kota Bogor. Kang Romi, sapaan akrabnya, tidak setuju apabila hasil survey tersebut dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa warga kota Bogor adalah warga yang paling intoleran di Indonesia.
Kupas Merdeka berkesempatan untuk bersilaturahmi dengan jajaran pengurus baru organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama ini untuk mendalami perkembangan-perkembangan di Kota Bogor berkaitan dengan toleransi antarumat beragama. Berikut petikan dari wawancara eksklusif tim redaksi Kupas Merdeka (KM) dengan Ketua GP Ansor kota Bogor, Kang Romi (RI).
KM: Beberapa hari yang lalu, Setara Institute merilis hasil survey nya yang menempatkan kota Bogor sebagai kota paling intoleran di Indonesia. Bagaimana pendapat kang Romi tentang itu?
RI: Ya, saya pikir survey sah-sah saja dilakukan oleh Setara (institute-red) atau siapapun. Saya sempat kaget saja, kalau itu dijadikan sebuah parameter bahwa warga kota Bogor itu semua intoleran. Kan seolah-olahnya seperti itu. Kalau dikatakan kota intoleran, artinya warganya intoleran semua. Tapi itu salah, sebenarnya perlu juga kita klarifikasi bahwa kelompok intoleran itu hanya segelintir orang yang ada di kota Bogor, cuma mereka selalu masif, sistemis dan terukur dalam melakukan kerja-kerja intoleran tadi, sehingga menyebabkan generalisir bahwa kota Bogor sebagai kota intoleran. Di sini banyak organisasi-organisasi kepemudaan lain yang nasionalis, yang tidak setuju dengan mereka. Itulah yang saya sangat sayangkan. Kita dicap demikian, kita sempat kaget, padahal GP Ansor sudah melakukan kerja-kerja menjaga kerukunan dan toleransi dengan agama-agama lain. Saya yakin hal itu perlu dikaji, tapi memang ada latar belakangnya. Setara Institute mengangkat persoalan GKI Yasmin dan Surat Edaran (pelarangan Asyura-red), seharusnya tidak digeneralisir dan dianggap bahwa diamini oleh masyarakat Kota Bogor, kan tidak.
KM: Masalah intoleransi ini mencuat lagi ke permukaan setelah Surat Edaran walikota Bima Arya, yang di dalamnya mencantumkan bahwa salah satu faktor yang mendorong keputusan tersebut adalah rekomendasi dari ormas-ormas Islam. Apakah elemen-elemen radikal dalam ormas-ormas Islam kini semakin berpengaruh dalam pembuatan kebijakan di kota Bogor?
RI: Sebenarnya, ini sebuah kesalahan kebijakan yang dilakukan oleh pak Bima Arya, sampai mengeluarkan surat edaran mengenai pelarangan peringatan Asyura. Pertama, Surat Edaran tersebut sangat lemah, karena seharusnya Bima Arya mewakili Negara atau Pemerintah, (maka) dasarnya harusnya daru undang-undang dan bukan asal dari kelompok tertentu. Di situ juga dituliskan demi ketertiban, itulah yang saya sangat menyayangkan, seharusnya negara hadir. Jangan dengan surat edaran ini dianggap selesai. Padahal akar masalah bukan di situ. Yang saya takutkan adalah surat edaran tersebut ke depannya akan menjadi justifikasi bagi kelompok-kelompok yang memang menentang adanya perayaan Asyura, dan saya yakin pasti mereka akan melakukan justifikasi. Saya lihat ini berbahaya ke depannya, padahal kata Walikota, surat edaran ini hanya berlaku untuk saat itu saja. Ya, boleh, itu pendapat dia, tetapi yang saya takuti kelompok tersebut akan menggunakan ini selama-lamanya. Saya sangat menyayangkan lah, dengan secepat itu keluar surat edaran tanpa ada proses diskusi atau dialog atau tabayun dari para kiai-kiai organisasi besar Islam yang ada di kota Bogor.
KM: Apakah perkembangan faham radikal ini sudah mencapai titik mengkhawatirkan?
RI: Saya pikir dibilang mengkhawatirkan juga tidak, tetapi harus diwaspadai. Karena kalau mereka mengatasnamakan agama lalu menyebarkan kebencian, itu adalah pemahaman yang salah dan salah doktrin. Karena di GP Ansor sendiri, para kiai mengajarkan kita bahwa kita ini Islam yang rohmatan lil alamin, Islam yang menyebarkan kedamaian, toleransi, moderat dan sebagainya. Ada salah doktrin, sehingga muncullah pendapat bahwa ketika si A bukan dari golongan saya, maka dianggap sesat atau keluar dari Islam. Itu salah, menurut saya, dan daya pikir ini harus diluruskan di masyarakat, terus diantisipasi, karena memang kelompok itu pasti akan terus melakukan yang seperti itu.
Leave a comment