Direktur Ekskutif Oversight of The Indonesian Democratic Policy: Siapa Kendalikan Revisi RDTR Tangerang Tahun 2020 Terkait PIK 2

JAKARTA (KM )- Direktur Eksekutif Oversight of The Indonesian Democratic Policy, Satyo Purwanto, menyoroti polemik penetapan kawasan pesisir utara Kabupaten Tangerang sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK2. Ia menilai bahwa proses tersebut perlu ditinjau kembali ke masa sebelumnya, mengingat persiapan dan pra-kondisi sudah dimulai sejak 2013.

“Pada tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Tangerang pernah mencoba menggusur paksa masyarakat di wilayah Dadap dan sekitarnya, Kecamatan Kosambi. Bahkan, dua kali upaya penggusuran dilakukan dengan melibatkan ribuan aparat Polisi, TNI, dan Satpol PP,” ujar Satyo pada Kamis (19/12/2024).

Satyo menjelaskan bahwa pada tahun 2020, dilakukan revisi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang kemudian diresmikan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang 2011-2031, di masa kepemimpinan Bupati Zaki Iskandar yang kini menjabat Ketua DPD Partai Golkar Jakarta.

“Revisi tersebut diduga menjadi pra-kondisi untuk proses penguasaan lahan secara tidak sah. DPR semestinya memanggil pihak-pihak terkait pada periode itu, seperti Bupati, Kepala BPN Kabupaten Tangerang tahun 2016, dan Ketua DPRD Kabupaten Tangerang,” ungkapnya.

Satyo menyoroti bahwa dalam periode 2013-2020, terjadi banyak alih fungsi lahan, mencakup belasan ribu hektar hutan lindung di Kecamatan Kosambi, Teluknaga, dan Pakuhaji yang kini menjadi bagian PSN. Proses alih fungsi ini juga berpotensi mengubah status kepemilikan lahan, sehingga perlu ditelusuri riwayatnya, termasuk dugaan abrasi yang digunakan sebagai alasan pengalihfungsian.

Menurut Satyo, penetapan PSN dan pembangunan PIK2 ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan modus operandi yang sudah sering terjadi. Salah satunya adalah membuat aturan-aturan tertentu agar tampak sesuai prosedur, namun dengan cara membatasi masyarakat setempat untuk melakukan transaksi tanah, yang bertujuan menurunkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

“Setiap konflik lahan di Kabupaten Tangerang melibatkan pemangku kepentingan. Ketika masyarakat mencoba mempertahankan tanahnya, mereka seringkali berhadapan dengan aparat penegak hukum atau bahkan dikriminalisasi,” lanjutnya. Satyo mengungkapkan bahwa ia pernah mengadvokasi masyarakat di wilayah Teluknaga dan Kosambi terkait masalah ini.

Ia juga menyoroti bahwa konflik agraria di Indonesia memiliki akar sejarah panjang, sejak era kolonial VOC, yang kini berganti dengan korporasi besar dan developer yang beroperasi di bawah sistem kejahatan terorganisir, terstruktur, dan masif.

Untuk mengatasi permasalahan ini, Satyo mengusulkan pembentukan lembaga hukum luar biasa yang independen, mirip dengan KPK di bidang pemberantasan korupsi. Lembaga tersebut harus memiliki perangkat peradilan mandiri dan tenaga penyelidik independen tanpa intervensi, untuk menegakkan hukum di sektor agraria.

 

redaksi

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*