Apakah Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra Pewaris ‘Devide at Impera’ Kebebasan Pers?

Oleh Hero Akbar N., Pemimpin Redaksi kupasmerdeka.com
Ketua Dewan Pers yang baru dalam seminar di Hall Dewan Pers Jakarta, Jumat (3/6/2022) antara lain mengatakan ada 43 ribu “media abal-abal.”
“Medianya abal-abal, penulisnya abal-abal, terkadang isinya juga abal-abal. Ini yang membuat repot banyak pihak,†ungkapnya dalam sebuah media online yang tayang Sabtu (4/6/2022).
Ini cuplikan beritanya:
Prof Azra lebih menyoroti 43 ribu media daring yang ternyata di antaranya masih ada beberapa media abal-abal. “Medianya abal-abal, penulisnya abal-abal, terkadang isinya juga abal-abal. Ini yang membuat repot banyak pihak,†ungkapnya.
Menurutnya, jurnalisme haruslah berkualitas. Dengan selalu mengedepankan kualitas maka berita yang disampaikan pasti kredibel dan akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Anggota Dewan Pers, Asmono Wikan juga menjadi salah satu pembicara, mengungkapkan saat ini pun telah banyak aduan pemberitaan yang masuk dalam Dewan Pers.
“Hingga saat ini semakin banyak sengketa pers atau pemberitaan yang diadukan kepada Dewan Pers, tapi di satu sisi ini merupakan hal yang baik karena publik mengakui keberadaan Dewan Pers, maka hal itu menunjukkan keberhasilan eksistensi lembaga tersebut,†katanya.
Asmono pun berpesan kembali kepada masyarakat untuk memahami keberadaan atau kualitas media yang ada. “Jika publik sudah tahu media yang tidak berkualitas, ya beritanya tidak usah dipercaya. Masih banyak publik yang percaya pada media yang tidak kredibel,†tegasnya.
Terkait berita ini, mungkin non anggota Dewan Pers perlu penjelasan Pak Azra atau pakar Dewan Pers lainnya yang lebih paham akan penjabaran berikut ini.
1. Apa pengertian “abal-abal” secara definisi, deskripsi dan analisa secara linguistik dan ciri-cirinya?
Mengapa justru Dewan Pers yang membuat narasi yang diskriminatif dengan mengatakan “abal-abal” terhadap media yang bukan konstituennya? Apakah Dewan Pers itu menganggap dunia pers itu hanya miliknya dan yang lain itu “ngontrak”?
Media sosial, apakah juga dikatakan abal- abal? Ingat, media sosial juga adalah salah satu sumber rujukan bagi media mainstream, media yang bernaung dalam konstituennya. Media sosial, baik itu sebagai sumber atau sebagai media distribusi konten tidak boleh dianggap abal- abal. Jangan mau menang sendiri. Giliran berita bagus, ambil milik dari netizen/pewarta warga, giliran pewarta warga salah sedkit terus ‘dihakimi’ dan dikriminalisasi bahwa itu melanggar UU ITE-lah, itu tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik-lah. Apakah yakin kalau media di bawah Dewan Pers sudah bermain bersih?
2. Mengapa media yang belum atau tidak bergabung dengan Dewan Pers langsung dicap dengan media abal-abal?
Yang perlu diketahui bahwa media memerlukan badan hukum sebagai landasan kerja atau legalitas. Sah secara hukum dalam menaungi lingkup kerjanya. Jika demikian alangkah sempit pengertian Dewan Pers yang tidak ingat bahwa izin atau legalitas tersebut diterbitkan oleh banyak lembaga sah negara, salah satunya adalah Kementerian Hukum dan HAM.
Apakah Dewan Pers lupa akan keberadaan kementerian itu? Media tidak mungkin akan bekerja jika tidak ada legalitas tersebut. Dari sisi kebebasan pers, bagaimana mungkin Dewan Pers akan mengembangkan pers yang sehat, ‘membudidayakan’ media yang sehat, jika dalam mindset Dewan Pers bahwa media yang tidak berada dalam lingkupnya sebagai abal-abal.
Seharusnya Dewan Pers merangkul semua media, termasuk yang belum terverifikasi, agar kebebasan pers tercapai. Tujuan media yang tidak atau belum masuk konstituen antara lain adalah sama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai Pembukaan UUD 1945, membuka informasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengetahui perkembangan berbagai kasus.
Nah seharusnya Dewan Pers melindungi yang belum/bukan Dewan Pers. Dalam UU Pers sendiri, tidak ada pasal yang menghakimi. Coba para pakar baca itu!
3. Siapa yang dianggap wartawan abal-abal? Apakah dipikir semua wartawan anggota Dewan Pers tulisannya sudah benar semua? Tulisan itu bukan hanya menulis apa yang dikatakan orang, namun harus juga memiliki seni dalam bahasa dan alur cerita dalam berita.
Mengapa menganggap tulisan wartawan yang bukan anggotanya itu abal-abal? Apakah tulisan seorang dosen yang pakar dalam bahasa dan beberapa ilmu pengetahuan, bahkan master di luar negeri masih dianggap abal-abal? Dewan Pers terlalu kekanak-kanakan menganggap diri dan anggotanya adalah Yang Maha Benar. Waw, saya jadi jeli… oh geli kalau begitu. Hanya karena tidak pakai Sertifikat Wartawan Dewan Pers, belum/tidak UKW terus dianggap abal-abal.
Kami berharap media atau pers bisa bersatu untuk kemajuan bangsa dan mencerdaskan warga sehingga Dewan Pers diharapkan bisa mengakomodasi kepentingan semua insan pers, mengembangkan dan meningkatkan angka kebebasan pers menjadi lebih baik.
Leave a comment