Lihat Banyak Kejanggalan di Buku Nikahnya, Wanita ini Klaim jadi Korban Sindikat Pemalsuan
JAKARTA (KM) – Seorang wanita bernama Hidayanti (37), warga Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, diduga telah menjadi korban sindikat pemalsuan buku nikah. Ia menyadari terdapat sejumlah kejanggalan dalam buku nikahnya setelah berumahtangga 13 tahun lamanya dan dikarunia 2 orang anak.
“Pertama, saya nikah di Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tapi buku nikahnya diterbitkan oleh KUA Sukakarya, Kabupaten Bekasi. Kedua, alamat mempelai laki-laki dalam buku nikah tidak sesuai dengan KTP aslinya. Ketiga, sebelum menikahi saya, JM mengaku duda, padahal belakangan diketahui sudah punya istri dan dua orang anak. Keempat, buku nikah tersebut ditandatangani oleh Mamad Achmad selaku Kepala KUA Sukakarya saat itu, tapi faktanya Kepala KUA sebenarnya atas nama Bunyamin,” terang Hidayanti, Selasa 20/4.
Terkait hal ini, Hidayanti telah dua kali menemui Nanun Abdillah selaku Kepala KUA Sukakarya yang sedang menjabat. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah buku nikahnya asli atau palsu. Pada pertemuan pertama, Nanun Abdillah menegaskan bahwa jika buku nikah tersebut ditandatangani oleh Kepala KUA yang menjabat tahun 2006 (Bunyamin), maka dapat dipastikan bahwa itu asli. Akan tetapi bila tidak sama, maka buku nikah Hidayanti dan JM adalah palsu.
Ia kemudian berusaha untuk menemui petugas bagian arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk memeriksa buku nikah yang menjadi persyaratan gugatan perceraiannya tahun 2019. Walau tidak dapat dibawa, Hidayanti diberi kesempatan untuk memfoto dan memvideokan secara lengkap buku nikahnya.
Setelah itu, diketahui bahwa Kepala KUA yang menandatangani buku nikahnya bukan Bunyamin, melainkan Mamad Achmad. Nama Mamad Achmad tidak pernah tercatat menjadi Kepala KUA Sukakarya, Kabupaten Bekasi. Dengan membawa fotokopi, foto dan video buku nikahnya, Hidayanti kembali menemui Kepala KUA Sukakarya saat ini, Nanun Abdillah.
“Meskipun sudah jelas-jelas yang tandatangan bukan Kepala KUA Sukakarya yang sah, Pak Nanun Abdillah mengatakan buku nikah saya terdaftar. Tapi beliau mengelak dan tidak bersedia memberikan bukti-bukti pendukungnya. Beliau juga berdalih bahwa Penghulu boleh menandatangani buku nikah. Tentu ini bertentangan dengan pernyataan beliau dalam pertemuan pertama,” ucap Hidayanti.
“Ini ada apa? Kok seolah-olah ditutup-tutupi? Kan jadi pertanyaan, jangan-jangan ada sindikat buku nikah palsu dan ada oknum internal yang diduga terlibat,” ujar Hidayanti.
Ia tahu, kecurigaannya itu hanya dapat dibuktikan oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, Hidayanti berharap agar pihak-pihak yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap kasus ini agar tidak ada lagi korban-korban berikutnya.
“Mudah-mudahan aspirasi saya ini sampai kepada aparat penegak hukum terutama kepolisian supaya melakukan penyelidikan. Saya menaruh harapan besar kepada Polri di bawah komando Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Bila terbukti, sindikat pemalsuan buku nikah harus diberantas habis. Cukup berhenti di saya korbannya, jangan sampai ada yang lain,” harap Hidayanti.
Adapun Hidayanti menceritakan bahwa dirinya dinikahi oleh seorang pria mengaku duda berinisial JM pada 26 November 2006 silam, di rumah orang tuanya di Jalan Swadaya 1, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
“Namun, setelah akad nikah tersebut, saya tidak menandatangani dan menerima buku nikah layaknya pernikahan resmi,” ujar Hidayanti.
Bahkan, setelah beberapa bulan menikah, Hidayanti tak kunjung mendapatkan buku nikahnya. Ketika ditanyakan, JM selalu menjawab masih dalam proses hingga tiga bulan lamanya. Meskipun mulai menaruh rasa curiga, Hidayanti tetap memendamnya dan berupaya untuk berprasangka baik.
Seiring berjalannya waktu, rumah tangga Hidayanti dan JM berkali-kali diterpa prahara. Mulai dari persoalan nafkah yang tidak mencukupi kebutuhan hidup hingga diketahui bahwa ketika menikahi Hidayanti, JM ternyata masih berstatus suami dari seorang wanita berinisial Z dan memiliki 2 orang anak.
“Saya merasa ditipu mentah-mentah oleh JM karena sebelum menikahi saya, dia mengaku duda. Apalagi saya tidak pernah melihat akte cerainya. Saya minta cerai, tapi dia selalu mengancam akan menghabisi saya dan keluarga besar saya,” tutur Hidayanti.
Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kedua anaknya, Hidayanti terpaksa harus bekerja. Dari marketing property hingga menjadi pengemudi ojek online (ojol) telah dilakoninya selama bertahun-tahun.
“Selama menekuni pekerjaan saya sebagai ojol, JM selalu menuduh saya selingkuh. Padahal saya bekerja mulai jam 8 pagi sampai jam 8 malam untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang seharusnya menjadi tanggungjawab JM. Tapi JM tidak sanggup karena punya seorang istri dan dua orang anak lagi,” kata Hidayanti.
Lantaran sering dituduh selingkuh, Hidayanti mengaku batinnya tertekan. Tak kuat menahan penderitaannya, Hidayanti akhirnya menggugat cerai JM ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan telah diputus pada 19 April 2019.
Reporter: HSMY
Editor: HJA
Leave a comment