KUPAS KOLOM: Indonesia Belum Siap untuk PPDB Zonasi
Oleh Hasan J.A.
Pemimpin Umum Redaksi KupasMerdeka.com
Di musim penerimaan murid baru ini, masalah ini muncul kembali. Pro-kontra sistem zonasi sekolah-sekolah negeri mendominasi diskursus soal pendidikan, khususnya di kalangan orang tua, setiap bulan Juni, sejak tahun 2017. Kebanyakan orang tua mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan zonasi SD, tetapi masalah muncul ketika mereka harus menghadapi zonasi ketika masuk SMP dan SMA.
Begini narasinya: orang tua dari seorang siswa yang berprestasi di SD tentunya ingin menyekolahkan anaknya di sekolah “favorit”, bersama anak-anak berprestasi lainnya, yang gedungnya mentereng dan fasilitasnya lengkap. Bagi yang nilainya tidak memadai, maka dia harus mau bersekolah di SMP Negeri yang lebih dekat, yang gedungnya biasa saja dan fasilitasnya tidak sebanding dengan sekolah favorit tadi.
Ini realitas yang terjadi sebelumnya. Lalu kali ini, mereka tidak bisa seperti ini lagi. Sistem zonasi diperketat, sehingga selain nilai, jarak domisili calon siswa itu juga menjadi pertimbangan. Sekolah tertentu diutamakan bagi siswa yang berdomisili terdekat, itulah zonasi. Akibatnya, orang tua siswa tidak lagi bisa menyekolahkan anaknya di “sekolah favorit” kalau tinggalnya terlalu jauh, atau tidak termasuk zona jangkauan sekolah itu.
Dari narasi singkat ini saja ketahuan begitu besarnya masalah yang dihadapi, dan begitu sistemiknya masalah ini. Semuanya terkait dengan yang disebut “sekolah favorit”. Kalau kita betul-betul pikirkan, sebenarnya aneh! Kok bisa ada sekolah negeri yang favorit dan tidak favorit! Bukankah semuanya sekolah negeri? Bukankah kualifikasi gurunya sama, kurikulumnya sama? Tapi ada sekolah negeri yang bagus, dan ada yang reot!
Kok bisa, sekolah negeri favorit fasilitasnya lebih lengkap dan gedungnya lebih bagus daripada sekolah negeri yang bukan favorit?
Kok bisa, sekolah negeri favorit aktivitas ekstrakurikulernya lebih keren daripada sekolah negeri yang bukan favorit?
Lalu ada apa dengan sistem pendidikan negeri ini, dimana tidak ada standarisasi kualitas sekolah negeri? Dimana kita masih sering menjumpai sekolah negeri yang roboh dan rusak bangunannya, belum lagi nasib guru honorer yang gajinya hanya 300 ribu rupiah per bulan, mau makan apa? Bukankah ini penyakit?
Luar biasa, di mana pemerintah menggelontorkan triliunan rupiah untuk membangun jalan tol yang membelah bukit dan menembus pegunungan, membangun PLTB alias “peternakan angin” untuk menangkap secuil energi dari angin sepoi-sepoi di daerah tropis kita ini, dan merencanakan kereta cepat yang bisa mengantarkan penumpang (bukan barang) dari Jakarta ke Bandung dalam waktu setengah jam, tapi sekolah-sekolah negeri kita dalam keadaan yang menyedihkan!
Di mana anggota DPR dan gubernur setiap tahun menyusun anggaran di mana gaji dan tunjangan mereka senantiasa dinaikkan, tetapi gaji guru honorer hanya cukup untuk menutupi sebagian dari ongkos mereka.
Miris! Lalu di tengah kekacauan sistemik ini kita mau terapkan zonasi, dimana pemerintah ingin “memaksa” pemerintah daerah agar menyetarakan kualitas sekolah-sekolah negeri mereka.
Menurut Mendikbud Muhadjir Effendy, dikutip dari media detikcom, zonasi PPDB akan “meng-close-up masalah”, yakni menentukan masalah-masalah sekolah di tiap zona misalnya soal kapasitas dan ketidakmerataan guru atau jomplangnya ketersediaan sarpras. Inilah kebijakan trial and error! Menyusun kebijakan kok dengan coba-coba?
Ini bukan kritikan terhadap “zonasi” itu sendiri. Pada dasarnya, zonasi itu baik-baik saja, dengan pembatasan tentunya. Misalnya, 70% dari siswa sekolah harus dari warga setempat (Permendikbud menentukan angkanya 90%, dengan revisi terbaru 80% per 24 Juni 2019), dan sisanya bisa dari luar daerah, dengan tujuan agar populasi siswa lebih heterogen. Ini juga membuka peluang bagi warga di luar zona, baik karena dia pendatang atau secara jarak lebih dekat atau bahkan tidak terjangkau zonasi, untuk tetap bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang mereka inginkan.
(25 Juni 2019, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengabaikan Permendikbud dan mematok angka zonasi di 70%)
Zonasi itu tidak akan menghadapi pro-kontra seandainya pemerintah melakukan perombakan total terhadap sistem pendidikan kita, di antaranya dengan menerapkan standarisasi yang ketat: terhadap penyebaran gedung sekolah, terhadap jarak maksimal dan minimal antar sekolah negeri, terhadap sarpras atau fasilitas sekolah, terhadap kualifikasi guru, terhadap kualitas bangunan, terhadap kurikulum, dan terhadap kegiatan ekstrakurikuler.
Di sejumlah negara yang lebih maju sistem pendidikannya daripada kita, yang pernah saya tinggali, bisa dilihat bahwa pemerintah setempat menentukan keharusan adanya satu sekolah dasar negeri (yang sangat besar dan luas dan lengkap fasilitasnya) untuk setiap kelurahan. Lalu, minimal satu sekolah menengah negeri tingkat SMP-SMA yang sama besar dan luasnya di setiap wilayah setara kecamatan. Di kawasan yang lebih padat penduduk, bisa ada 2,3 atau 4 sekolah menengah tersebar di kecamatan itu.
Di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, kita tidak melihat standarisasi yang serupa. Di Kota Bogor, kita menemukan sekolah-sekolah negeri yang bersebelahan, yang mana walau mereka bersebelahan, sarprasnya bisa saja jomplang. Yang satu dianggap sekolah favorit, yang sebelahnya tidak. Yang satu punya masjid, yang satu lagi hanya mushola kecil. Yang satu kantinnya luas, yang satu lagi kecil. Dan seterusnya. Inilah sistem pendidikan setengah hati.
Seandainya pemerintah pusat memandang pendidikan sepenuh hati, maka mereka tidak akan berpikir panjang untuk menggelontorkan dana besar untuk pembangunan sekolah-sekolah yang lebih baik. Pemerintah daerah tidak akan susah, bahkan mungkin didorong, untuk membebaskan lahan 2-3 hektar untuk membangun kompleks sekolah dengan fasilitas lengkap yang mengikuti standar yang ditentukan. Mereka pun tidak akan sulit menyejahterakan guru-guru honorer yang akan terserap dengan peningkatan kapasitas gedung-gedung sekolah.
Barulah, dengan sekolah-sekolah yang tersebar merata dan memenuhi standar-standar kualitas, kita siap untuk memberlakukan zonasi yang ketat.
Kita pasti bisa, kenapa tidak? Membelah gunung untuk jalan tol sepanjang ratusan kilometer saja bisa, masa sih bangun sekolah yang bagus untuk generasi penerus kita nggak bisa.
Leave a comment