Baru Desak Pengusutan Kematian M. Yusuf Setelah Pernyataan UNESCO, Ketua Umum PWRI Kecewa Dengan Sikap AJI

Rapat gabungan solidaritas 17 organisasi wartawan, yang turut dihadiri Ketum PWRI dan Sekjen, Jumat 6/7 (dok. KM)
Rapat gabungan solidaritas 17 organisasi wartawan, yang turut dihadiri Ketum PWRI dan Sekjen, Jumat 6/7 (dok. KM)

JAKARTA (KM) – Aksi Solidaritas Wartawan yang dilakukan oleh 17 organisasi wartawan Rabu (4/7) lalu, ternyata menjadi perhatian banyak pihak, termasuk juga dunia internasional. PBB melalui UNESCO turut menyuarakan kepeduliannya terhadap kematian wartawan Muhamad Yusuf di Kalimantan Selatan, sehari setelah aksi itu.

Dalam aksi tersebut, wartawan yang berjumlah kurang lebih 500 orang menyerahkan keranda mayat naik sampai ke lantai 8 Gedung Dewan Pers persis di depan pintu sekretariat Dewan Pers, sebagai simbol kematian wartawan Muhamad Yusuf di Kalimantan Selatan.

Dalam pernyataannya yang diterima KM, UNESCO mengutuk dan menyerukan agar kasus kematian Yusuf itu diusut tuntas. Yusuf menghembuskan nafas terakhirnya pada 10 Juni 2018 lalu di dalam tahanan, saat masih dalam proses hukum terkait dengan pemberitaannya.

Setelah ada pernyataan dari UNESCO, organisasi kewartawanan AJI (Aliansi Jurnalis Independen), yang tidak ikut serta dalam aksi solidaritas di depan gedung Dewan Pers Rabu kemarin, kini ikut muncul ke permukaan mendukung pernyataan itu untuk mendesak pengusutan kematian Muhamad Yusuf.

Sementara PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) selain memberikan pernyataan sikap tertulis diketahui membentuk Tim Pencari Fakta yang masih dalam proses pengumpulan data dan fakta, dan kabar terakhirnya sudah merencanakan dua anggota tim itu berangkat tanggal 10 Juli 2018. Hal ini disampaikan oleh Ketua TPF Ilham Bintang kepada media.

Ketua Umum Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), Suriyanto PD, mengaku merasa kecewa dengan perhatian organisasi AJI yang justru keluar sejak pernyataan tertulisnya itu ketika ada seruan dari UNESCO terhadap kematian Muhamad Yusuf. Ia menjelaskan, banyak peristiwa serupa, wartawan yang berhadapan dengan hukum di negara ini di berbagai daerah. Klimaksnya adalah kematian Muhamad Yusuf yang membuat geger dunia kewartawanan.

Suriyanto meminta agar AJI konsisten memiliki arah keseriusannya terhadap kematian yang dialami wartawan Muhamad Yusuf di Kalimantan Selatan, serunya.

Ia menjelaskan bahwa 17 organisasi wartawan saat ini tengah merapatkan barisan, merumuskan beberapa agenda termasuk langkah pengawalasan terhadap kasus kematian Muhamad Yusuf.

“Kemudian masih ada 176 wartawan di berbagai daerah yang mengalami nasib berhadapan dengan kepolisian karena pemberitaan untuk mendesak Kapolri menghentikan semua proses hukum terhadap wartawan itu dan mengoreksi kembali permasalahannya sehingga tidak ada lagi wartawan yang dikriminalisasi dari karya jurnalistiknya,” tegas Suriyanto kemarin 6/7.

Muhammad Yusuf (42) meninggal dunia pada saat diproses hukum UU ITE dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar, oleh pihak kepolisian setempat.

Kasus yang menjerat Muhamad Yusuf terkait pemberitaannya tentang penggusuran masyarakat oleh satu perusahaan swasta yang membuka perkebunan sawit di hutan lahan PT. Inhutani II di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan secara berkesinambungan di media online.

Muhamad Yusuf diketahui dilaporkan oleh perusahaan perkebunan sawit itu ke Polres Kotabaru. Kemudian Polres Kotabaru melakukan koordinasi kepada Dewan Pers melalui Leo Batubara (79) yang ditunjuk oleh Dewan Pers untuk memberikan penilaian, dengan hasil bahwa Muhamad Yusuf dapat dijerat UU ITE.

Diketahui juga, bahwa penilian dari Dewan Pers itu diambil sebelah pihak oleh Leo Batubara tanpa memanggil wartawan yang bersangkutan maupun redaksi media yang menerbitkan berita Muhamad Yusuf.

Reporter: Indra Falmigo
Editor: HJA

Komentar Facebook

1 Comment

  1. Harusnya leo batubara harus ikut bertanggung jawab dan diselidiki knapa dia mengambil keputusan sepihak,,, ada apa…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*