KUPAS KOLOM: Menggali Solusi Transportasi Umum Bogor – Sebuah Konsep

Oleh: Hasan J.A.*
Tanda kemajuan sebuah kota atau wilayah bukanlah dinilai dari banyaknya gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, atau megahnya jalan-jalan layang yang membuat bentuk-bentuk simpul di atas muka bumi, atau dari jumlah outlet waralaba makanan asing yang dibuka di kota itu.
Tidak, tapi kemajuan sebuah kota dinilai dari faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan kepentingan warga yang tinggal di dalam kota itu, seperti kesejahteraan mereka, fasilitas pendidikan, kesehatan, hiburan, keamanan, keselamatan, kebersihan dan tentunya, TRANSPORTASI.
Mengalihkan fokus kita kepada isu transportasi di Kota Bogor, hal ini meliputi sejumlah kondisi seperti kualitas jalan, jalur pejalan kaki, rambu-rambu lalu lintas, ketertiban dan transportasi umum. Dan dari semua poin itu, kita dapat mengatakan bahwa sungguh di Kota Bogor, seperti di banyak kota lainnya di negeri tercinta ini, masalah seputar transportasi sangatlah BERMASALAH.
Kualitas jalan raya: BERMASALAH!
Jalur pejalan kaki: BERMASALAH!
Rambu-rambu lalu lintas: BERMASALAH!
Ketertiban lalu lintas: BERMASALAH!
Transportasi umum: BERMASALAH!!! (dengan tiga tanda seru, karena masalah ini spesial)
Masih segar dalam ingatan kita ketika aplikasi GPS Waze menempatkan Kota Bogor sebagai kota termacet di dunia. Dan mau semarah apapun Dr. Bima Arya terhadap masalah ini, hingga kini dapat dikatakan kemacetan di Bogor semakin parah saja. Mungkin kalau sekiranya tuan walikota sekali-sekali mengalihkan perhatiannya dari lingkungan sekitar Kebun Raya Bogor dan Istana Bogor, yang selama ini jelas sekali menjadi titik fokus beliau dalam proyek mempercantik [sebagian dari] Kota Bogor, mungkin saja Kota tercinta ini dapat melangkah maju secara keseluruhan, bukan hanya di kawasan sekitar Balaikota.
Juga teringat beberapa waktu lalu ketika terjadi keributan antara sopir ojek online dengan sopir angkot, sehingga kedua kalangan pun menggelar aksi mogok kerja. Salah satu akibat positifnya adalah “Lalu Lintas Kota Bogor Tiba-tiba Menjadi Tertib dan Lengang“. Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari efek samping ini adalah bahwa salah satu sumber masalah lalu lintas di Kota Hujan ini adalah ANGKOT.
Saya adalah seorang proponen ide penghapusan total terhadap bentuk transportasi kapitalis ini. Transportasi yang sama sekali tidak layak dan tidak memperhatikan kenyamanan dan keselamatan penumpangnya, yang pada umumnya merupakan rakyat kecil. Di sisi lain, sistem bisnis angkot memberikan tekanan kepada para sopir untuk mengumpulkan uang ongkos sebanyak mungkin, sehingga mereka mengetem untuk mengejar setoran kepada para juragan. Sementara itu, dalam mencari penghidupan, para sopir, selain mengejar setoran, juga harus bersabar dengan kondisi kendaraan yang memprihatinkan, sering mogok, lampu tidak menyala, klakson tidak bersuara dan lain-lain.
Kenapa rakyat kecil harus menerima kondisi kehidupan seperti ini? Tidakkah mereka pantas untuk dijamin keselamatan dan kenyamanannya? Dan tidakkah mereka pantas mempunyai lapangan pekerjaan yang layak pula?
Seharusnya, semua hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, haruslah dioperasikan oleh umum pula. Dalam hal ini, yang saya maksud adalah pemerintah, melalui perusahaan umum, BUMN atau BUMD yang bertanggungjawab kepada rakyat, dan bukan pihak swasta. Termasuk transportasi massal, dimana yang terdepan dalam hal ini haruslah perusahaan milik pemerintah dan bukan didominasi oleh swasta, seperti dalam hal angkot.
Contohnya, perkeretaapian dikuasai oleh BUMN PT. KAI, dan dalam transportasi udara oleh Angkasa Pura dalam infrastrukturnya dan Garuda Indonesia sebagai perusahaan yang terdepan dalam modanya. Di Jakarta, ada TransJakarta yang menjadi pilihan utama bagi banyak kalangan dan sudah menembus semua lapisan masyarakat.
Di Palembang, jaringan bus Trans Musi telah sepenuhnya mengambil alih seluruh trayek angkutan bus reot yang sebelumnya mengacaukan lalu lintas Kota Bari itu. Pemkot Palembang menerapkan moratorium terhadap perpanjangan perizinan bus swasta, sehingga kini, bus-bus swasta yang tersisa tinggal menunggu izin operasi mereka kadaluwarsa.
Inilah yang saya sebut “solusi”. Rakyat kecil (terutama wanita dan anak-anak) tidak lagi terpaksa harus bersabar dengan moda transportasi umum yang tidak nyaman, tidak aman dan tidak ramah, dan pengguna jalan raya lainnya tidak lagi harus mempertaruhkan keselamatan (atau kondisi kendaraan) mereka di jalanan ketika berhadapan dengan sopir angkutan umum yang ugal-ugalan. Sebuah keputusan yang tidak akan menyenangkan semua pihak, tapi diambil untuk kepentingan rakyat umum.
Ya, memang, dalam membuat keputusan, pemerintah harus selalu mengutamakan kepentingan rakyat kecil. Tidak ada keputusan yang akan menyenangkan semua pihak, pasti akan ada yang kecewa, marah, rugi dan sebagainya. Tapi seandainya harus ada yang rugi, janganlah merugikan rakyat kecil, tapi rugikanlah mereka yang sanggup untuk menanggung kerugian itu.
Kembali ke masalah angkot di Kota Bogor, mungkin sekarang anda sudah tahu arah saya kemana. Di Kota Bogor pun pemerintah harus bisa bertindak tegas, menggantikan angkot, atau paling tidak sebagian dari trayek angkot, dengan moda transportasi umum yang lebih layak dalam bentuk bus ber-AC, dengan sopir yang berkualifikasi pula.
Tapi jangan seperti proyek gagal Trans Pakuan itu! Dengan bus-bus yang sejak awal bisa kita perkirakan tidak akan bertahan lama, dengan bentuk yang aneh dan tidak jelas. Yang saya maksud adalah bus-bus seperti ini:

(dok. theadwanders.files.wordpress.com)
Ini adalah “Bus Ungu” di Brunei Darussalam, salah satu negara tetangga kita. Dan sesepi apapun transportasi umum di sana (karena hampir semua warga memiliki mobil), bus-bus Toyota Coaster bermuatan 22 orang itu tetap terawat dengan baik, dengan AC yang tetap dingin. Satu bus dapat menggantikan 2-3 angkot, dan semuanya dioperasikan oleh satu dinas di bawah pemerintahan Brunei. Bentuknya pun tidak aneh dan hampir tidak dimodifikasi sama sekali dari bentuk aslinya, sehingga tentunya lebih tahan lama. Selama saya tinggal di Brunei Darussalam antara tahun 1999-2005, tidak pernah sekalipun saya mengalami atau mendengar kabar tentang Bus Ungu ini mogok di tengah jalan. Tidak ada pengamen dan pengemis. Dan shelter bus nya pun sederhana, hanya cekungan di jalan dengan shelter kecil seperti ini, bahkan lebih sederhana:

(stock)
Sebuah sistem yang serupa, namun lebih sederhana (dan lebih semrawut, tapi tidak separah sistem angkot), saya lihat ketika saya berkunjung ke kota Colombo, Sri Lanka. Sebuah kota yang banyak kemiripan dengan kota-kota di Indonesia.
Teknisnya
Tentunya sebuah perubahan radikal tidak bisa diterapkan secara menyeluruh dan serentak, namun harus dilakukan secara bertahap. Tidak seperti konsep gagal Trans Pakuan, bus baru ini harus menggantikan trayek angkot yang sudah berjalan, dan bukan membuka trayek baru. Menggeser angkotnya pun tidak secara serentak, tapi dengan cara wong kito, yaitu dengan menerapkan moratorium terhadap perpanjangan perizinan operasi angkot untuk trayek tertentu. Sisa waktu operasional mereka dapat dimanfaatkan oleh para juragan dan sopir angkot untuk mencari sumber penghasilan lain.
Mari kita bidik salah satu trayek yang menjadi biang kerok kemacetan di Kota Bogor, khususnya di Jalan Kapten Muslihat (Taman Topi): trayek 02, Sukasari-Bubulak. Sebagian dari infrastrukturnya sudah tersedia dalam bentuk halte-halte (yang sayangnya terlalu besar dan rawan vandalisme). Sepanjang jalur trayek tersebut, harus dibangun halte setiap jarak tertentu yang dihitung berdasarkan sebuah asumsi: jarak terjauh yang akan ditempuh penumpang yang berjalan kaki dari tempat tinggalnya ke halte tersebut. Kalau kita asumsikan jarak terjauh itu adalah 200m di jalan raya, maka jarak antara halte adalah 400m.
Kemudian, jumlah bus yang dibutuhkan secukupnya, berdasarkan durasi waktu tunggu penumpang yang ditargetkan dan juga volume penumpang. Dengan kepadatan penumpang yang cukup tinggi, mari kita targetkan durasi menunggu selama 3 menit. Artinya, setiap 3 menit ada bus yang lewat, maka dapat dihitung berapa jumlah bus yang harus disediakan (sejak awal), dengan menggunakan asumsi kecepatan rata-rata bus tersebut di jalanan. Kalau kecepatan rata-rata bus sepanjang jalur tersebut adalah 30km/jam, maka selama 3 menit sebuah bus akan menempuh jarak 500m. Dan kalau trayek tersebut membentang sepanjang 15km, maka akan dibutuhkan 30 bus satu arah, atau total 60 bus PP.
Tenaga Kerja
Untuk transportasi yang maju, butuh tenaga kerja yang profesional pula sebagai sopir dan kernet. Sekarang ini, banyak sopir dan kernet yang sudah berpengalaman dari program gagal Trans Pakuan itu, yang dapat dikerahkan untuk mengoperasikan sistem transportasi ini. Kali ini, gaji mereka jangan ditahan-tahan dan jangan ditunda-tunda!
Namun kali ini kita harus menangani masalah yang cukup serius, yaitu menciptakan lapangan kerja alternatif untuk mengganti lapangan kerja yang dihapus. Banyaknya bus dan halte yang harus dirawat membuka lapangan pekerjaan baru bagi tenaga mekanik dan kebersihan serta teknisi yang secara rutin harus melakukan inspeksi dan bersih-bersih terhadap bus-bus dan halte-halte itu, tidak jauh berbeda dari yang kita lihat di kereta api KRL Jabodetabek. Selain itu, sistem ini juga membutuhkan petugas keamanan di halte-halte utama seperti Stasiun Bogor dan sekitarnya.

Mekanik bus, salah satu lapangan kerja profesional baru yang dibuka dengan sistem transportasi bus (dok. Omnitrans.org)
Dan semua pekerja harus dibayar tepat waktu dengan sistem gaji yang layak. Dari ini saja, untuk satu trayek, kita dapat membuka lapangan pekerjaan untuk setidaknya 200 warga Kota Bogor, yang sebagiannya dapat di-subkontrakkan kepada pihak swasta di Kota Bogor, khususnya untuk bagian kebersihan dan mekanik. Selalu utamakan warga Kota Bogor dalam setiap aspeknya.
Selain itu, secara rutin operator dapat menggelar pelatihan untuk membina tenaga baru.
Menawarkan Penghasilan Alternatif bagi Juragan Angkot
Dengan dihapusnya trayek tertentu, maka para juragan angkot pun akan berkurang penghasilannya. Karena Pemkot yang mengambil itu dari mereka, maka Pemkot harus menawarkan alternatif bagi mereka untuk mengganti penghasilan yang hilang tersebut, dalam bentuk peluang investasi saham dalam perusahaan trasportasi yang baru ini, yang dapat menghasilkan dividen bagi mereka. Peluang ini akan dibuka bukan saja untuk operator trayek angkot yang digeser, tapi bagi semua juragan angkot yang trayeknya akan digeser.
Menuju “Smart City”
Salah satu aspek dari konsep “Bogor Smart City” adalah penerapan teknologi modern dalam kehidupan masyarakat. Dalam sistem transportasi ini, sebuah sistem GPS dapat diaplikasikan sehingga setiap bus dapat dilacak melalui aplikasi Android/Apple, dan warga dapat memonitor langsung lokasi bus-bus yang sedang beroperasi, begitu juga dengan pihak pengawas atau operator. Dengan itu, warga dapat mengestimasi lama masa tunggu dan juga kondisi lalu lintas pada saat tertentu. Selain itu, tempat-tempat wisata, restoran, hotel, halte dan sebagainya juga dapat diperlihatkan pada peta itu, dan juga dapat dipromosikan.
Ini dapat menjadi proyek tersendiri bagi para developer aplikasi Android/Apple, tentunya secara serius dan profesional, dengan kestabilan dan kelengkapan fitur sebaik mungkin.
Catatan Lainnya
Pekan lalu, saya membaca sebuah jawaban di website tanya-jawab quora.com, dimana seseorang bertanya tentang sesuatu yang unik di Indonesia. Salah satu penjawab mengatakan bahwa orang Indonesia lebih suka mengemudi sepeda motor daripada berjalan kaki. Selain karena di mayoritas jalanan kota tidak ada jalur pedestrian (sehingga setiap perjalanan kaki di jalanan itu mempertaruhkan nyawa warga), transportasi umumnya pun tidak nyaman dan tidak manusiawi, baik dari cara operasinya maupun bagi penumpangnya. Wajar saja jalanan kota-kota di Indonesia sesak dengan sepeda motor.
Sebuah sistem transportasi yang berkualitas dan efektif tentunya akan mengurai kemacetan lalu lintas dengan menggeser para biang kerok kemacetan yaitu angkot dan (sebagian) sepeda motor, ketika warga yang biasanya menaiki sepeda motor akan memilih transportasi umum yang nyaman.
Orientasi Kerakyatan
Ketika transportasi umum dipegang oleh pemerintah, orientasi utamanya tidak lagi menghasilkan laba, tetapi untuk kemaslahatan rakyat, meningkatkan kualitas hidup rakyat. Inilah inti dari pengambilalihan pengoperasian angkutan umum dari pihak swasta kepada pihak pemerintah. Walaupun, saya yakin, sebuah sistem yang beroperasi dengan baik tentu akan menghasilkan laba, tapi orientasi mentalitas dari manajemen perusahaan umum bukanlah untuk mengejar keuntungan untuk sebagian kalangan tertentu, tetapi untuk menguntungkan rakyat dengan pelayanan yang baik, yang juga menghasilkan efek lainnya yaitu semakin tertibnya lalu lintas dan sebagainya.
Ketertiban dan kelancaran lalu lintas tentunya akan melancarkan perputaran roda perekonomian, meningkatkan nilai dan minat investasi di kawasan, dan juga meningkatkan minat wisatawan lokal dan luar daerah yang berimbas positif terhadap ekonomi rakyat kecil juga.
Masalah yang Harus Diatasi
Masalah kemacetan lalu lintas dan kepadatan angkot di jalan-jalan raya di Kota Bogor adalah sebuah penyakit kronis yang hingga kini belum terlihat keseriusan dan langkah nyata dari Pemkot untuk mengatasinya. Wacana untuk memperluas jangkauan Trans Pakuan menemui kebuntuan, kegagalan dan kerugian besar akibat tidak adanya keseriusan dari Pemkot untuk mengawasi prosesnya dengan teliti dari tahap awal, sehingga yang kita dapatkan hanyalah halte-halte yang kini penuh dengan coretan-coretan dan menjadi tempat nongkrong para pengamen.
Sangat disayangkan! Saya rasa ini adalah solusi dengan konsep yang patut diperhitungkan, khususnya bagi para calon walikota yang akan maju di Pilwalkot tahun depan.
Terlepas dari itu juga, masalah ini adalah sesuatu yang HARUS diatasi dengan revolusi sistem transportasi, mau tidak mau, HARUS dilaksanakan dengan segera, sebelum masalah menjadi semakin buruk. Dengan keseriusan, sebuah solusi yang berhasil di Kota ini dapat kemudian diterapkan di kota-kota lainnya sehingga kita memiliki andil dalam revolusi sistem transportasi di seluruh Indonesia.
*Pemimpin Umum Kupas Merdeka
Leave a comment