Wawancara Lengkap dengan Bima Arya Terkait Pelarangan Asyura di Kota Bogor
Bogor, 26/10 (KM) – Pro dan kontra pelarangan perayaan Asyura oleh penganut Islam Syiah di kota Bogor terus bergulir. Polemik kebebasan beragama bukan pertama kali melanda Kota Bogor, karena sebelumnya kasus yang menyangkut berdirinya gereja GKI Yasmin pernah mencuat hingga pemberitaan internasional dan menyorot administrasi pemerintahan yang dipimpin Walikota Bogor Bima Arya. Kasus tersebut hingga kini masih menggantung.
Bagaimana sebenarnya logika yang diterapkan oleh Bima Arya dalam mengambil keputusan yang membuat dirinya berada dalam sorotan dalam konteks kebebasan beribadah dan hak konstitusional? Wartawan MadinaOnline A. Rifki berkesempatan mewawancarai Walikota Bogor secara langsung.
Berikut wawancara lengkap A. Rifki melalui telepon dengan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto, Sabtu (24/10) sesuai yang dilansir di situs berita MadinaOnline.id:
Apa yang melatarbelakangi Anda mengeluarkan Surat Edaran yang berisi Imbauan Pelarangan Perayaan Asyura?
Prosesnya agak panjang. Saya menerima banyak masukan dari warga juga tokoh agama. Mereka khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kalau ada perayaan Asyura. Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) melakukan koordinasi serta rapat beberapa kali dan MUI juga kami undang bahkan datangi. Kami minta agar jangan sampai ada konflik sosial, apalagi konflik fisik di situ.
Kami tidak ingin ada hal-hal yang bisa mempengaruhi keharmonisan di Kota Bogor. Jadi, kami kunjungi Habib Assegaf dan dia sudah menyatakan bersedia tidak melakukan kegiatan perayaan Asyura. Tapi kemudian malam Jumat lalu, saya mendapatkan laporan dari warga dan dari tokoh-tokoh bahwa kegiatan itu tetap dilakukan. Kemudian Muspida merespons. Ini rawan sekali. Sangat rawan. Karena ada ibu-ibu dan anak-anak di situ.
Jadi, kembali kami minta Habib Assegaf untuk tidak melakukan kegiatan itu, karena saya tidak mau kemudian ada korban di situ. Saya ingin melindungi semua warga sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tapi kalau kemudian ada korban itu sudah menjadi tanggung jawab saya dan pihak keamanan ikut terlibat.
Ini ada kaitannya dengan persoalan akidah?
Ini terlepas dari persoalan akidah. Tugas saya sebagai walikota beserta Muspida itu menjamin keamanan dan ketertiban. Itu intinya. Dan ini pun hasil kesepakatan Muspida dengan MUI dan hasil dialog saya dengan Habib Assegaf. Saya kunjungi Habib Assegaf dan dia memahami.
Mereka tidak mau kalau mereka dlarang hanya karena tekanan kelompok-kelompok tertentu. Tapi kalau itu menjadi kebijakan Pemkot, mereka siap untuk patuh dengan kebijakan itu. Ya sudah, malam itu pun kami menyepakati dengan Habib Assegaf agar menghindari konflik fisik di situ. Itu poin utamanya.
Bukankah peran pemerintah kota dan aparat keamanan itu untuk melindungi setiap warga negara dan ini dijamin undang-undang dan konstitusi?
Tidak sesederhana itu. Persoalan keyakinan ini sangat sensitif. Kami menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan. Kegiatan apapun kalau sudah terkait dengan keyakinan itu bisa mengakibatkan hal-hal yang irasional. Sekuat apapun aparat mengamankan, faktor sosial ini harus kami hitung untuk diantisipasi.
Jadi, saya akan melakukan apapun untuk memastikan tidak ada korban di situ. Dari pihak manapun. Termasuk jamaah Habib Assegaf juga tidak mau jadi korban di situ. Ini kan untuk melindungi mereka. Saya melindungi mereka. Bahkan saat anak-anak dan ibu-ibu dievakuasi, kami pastikan bahwa mereka yang hadir di situ bisa kembali ke kediaman masing-masing.
Anda sebenarnya melindungi siapa? Bukankah melindungi itu bisa berarti membiarkan kegiatan itu tetap berjalan dan aparat berjaga. Siapapun yang menyerang dan membuat kerusuhan lah yang wajib ditangkap…
Ini semua kan berdasarkan kajian intelijen, aparat keamanan, Kadandim, Kapolres. Bukan hanya keputusan saya secara sepihak. Ini kesepakatan kami untuk tidak bisa membiarkan kegiatan itu berjalan karena hitungan keamanan tadi.
Jadi, kami dengan Muspida terus bertemu, rapat, dan berkoordinasi. Itu semua berdasarkan masukan. Ini kami ada hitung-hitungannya. Maksudnya, pihak aparat keamanan juga memiliki pertimbangan yang cermat bagaimana harus mengantisipasi suatu peristiwa. Kami tidak ingin peristiwa di tempat lain yang menimbulkan korban itu terjadi di Kota Bogor.
Adakah kelompok-kelompok tertentu yang mendesak Anda untuk melakukan pelarangan ini dan mereka berencana akan menyerang jika itu tidak Anda penuhi?
Oh, tidak! Warga di situ bertemu dan bicara dengan saya. Warga sekitar merasa tidak nyaman dengan itu. Kemudian MUI lembaga yang paling representatif karena kepengurusannya terdiri dari berbagai kalangan yang harus kami dengar. Jadi, ini semua masukan dari MUI, warga sekitar, dan hitungan aparat keamanan.
Beberapa kalangan mengatakan ini contoh konkret dominasi, intimidasi, bahkan tirani mayoritas terhadap minoritas dan Anda sebagai walikota tunduk pada kelompok intoleran. Komentar Anda?
Pada intinya apa yang kami lakukan adalah untuk menjamin ketertiban dan keamanan. Memang idealnya ada rasa saling menghargai. Namun untuk itu diperlukan proses panjang secara terus-menerus untuk membangun dialog dan komunikasi, membangun toleransi, membangun keberagaman dan saling menghargai. Tapi ini ada peristiwa darurat yang dalam hitungan jam. Itu saja.
Jadi, ini bukan pemasungan secara total. Tidak! Ini adalah peristiwa darurat yang dalam hitungan jam harus kami putuskan karena terkait dengan nyawa warga Bogor dan keselamatan mereka. Kami sadar, kalau terjadi sesuatu traumanya akan berkepanjangan. Konfliknya akan membesar. Ini yang barangkali harus dipahami juga. Ini perlu ditangkap dengan perspektif yang luas untuk kepentingan yang lebih besar.
Kalau dilihat dari posisi dan kedudukannya, MUI itu bukan lembaga pemerintahan. Dan fatwa mereka sebenarnya bukan harga mati…
Tapi di MUI ada representasi tokoh-tokoh agama di situ dan harus didengar. Selama ini kami berkoordinasi dengan MUI tentang apapun yang ada di Bogor. Mulai dari pemberantasan kemaksiatan dan memperhatikan aspek keberagaman. Saya selalu mendengarkan MUI. .
Menurut Anda, bagaimana ajaran Syiah itu? Dan apa pandangan Anda terhadap perayaan Asyura sendiri?
Saya tidak mau berpolemik terkait keyakinan. Bagi saya, tugas dan kewajiban saya saat ini adalah memastikan tidak ada korban. Tidak ada darah menetes di Kota Bogor. Tidak ada konflik yang menimbulkan trauma. Walaupun risikonya ada stigma yang akan dilekatkan pada saya. Walaupun risikonya saya tidak akan populer.
Tidak ada hitung-hitungan politik di sini. Tidak ada hitung-hitungan popularitas. Sama sekali tidak ada. Bagi saya, nasib warga saya adalah tanggung jawab saya. Saya tidak mau ada peristiwa yang menimbulkan trauma berkepanjangan di situ.
Beberapa kalangan mengatakan, ini diskriminasi yang dilakukan Walikota Bogor dan tindakan Anda itu melanggar konstitusi. Komentar Anda?
Setiap orang punya hak menilai. Tapi bagi saya, saya mencintai warga dan kota saya. Bagi saya, keselamatan nyawa orang kemudian harmoni sosial itu adalah hal yang harus saya prioritaskan.
Ada beberapa contoh kasus di mana pemimpin bertindak tegas untuk melindungi warganya yang minoritas dari berbagai bentuk diskriminasi maupun penyerangan. Misalnya, yang dilakukan Dwight D. Eisenhower di Amerika Serikat dan lainnya. Mungkinkah itu diadopsi di Bogor?
Tidak bisa! Setiap daerah punya konteksnya masing-masing. Tidak bisa satu kasus direplikasikan secara total dengan kasus yang lain. Selalu ada local wisdom atau kekhasan di daerah. Tentunya dalam hal ini kami tidak bertindak sendiri. Ada unsur Muspida, tokoh-tokoh, dan warga di sini. Kami mengambil langkah untuk kepentingan yang lebih besar.
Mungkin saat ini kebijakan yang saya ambil dinilai salah. Salah dalam konteks perspektif keberagaman. Tapi paling tidak, ini harus kami lakukan. Apapun risikonya tetap harus kami ambil untuk kepentingan yang besar. Untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban warga di Kota Bogor. Ini harga yang sangat mahal.
Tadi Anda mengatakan bahwa membangun dialog dan kerukunan antar dan intraumat beragama itu proses yang terus berlanjut. Apa yang Pemkot Bogor pernah lakukan untuk hal ini?
Saya mengundang Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) yang selama ini bisa dikatakan sangat pasif. Saya minta FKUB untuk kembali diaktifkan. Karena di sinilah keberagamaan itu didialogkan. Mereka beberapa kali saya undang. Terakhir, bulan lalu mereka saya undang ke rumah dinas. Kami berbicara berbagai macam hal. Intinya, saya minta agar ini didorong kembali.
Kedua, di Bogor ada Badan Sosial Lintas Agama (Basolia). Saya seringkali bertemu dengan mereka dan bergerak langsung melakukan kegiatan-kegiatan yang konkret dalam konteks aktivitas dan bantuan sosial bersama lintas agama. Tujuannya juga untuk melakukan edukasi tentang keberagaman dari tingkat yang paling bawah (grass root).
Ketiga, saya menghadiri banyak sekali kegiatan-kegiatan keagamaan umat non-Muslim. Natal tahun lalu saya hadir di katedral kemudian di GKI Pengadilan. Di Cap Go Meh, peristiwa keyakinan agama tertentu, saya hadir di situ. Saya juga minta presiden untk hadir karena ini adalah simbol keberagaman di Kota Bogor. Beberapa kali saya juga hadir ke wihara. Bahkan saya buka puasa di wihara.
Jadi, saya kira, kita harus meletakkan segala sesuatu itu sesuai dengan konteks, porsi, dan latarbelakangnya.
Kalau memang proses-proses itu terus berjalan, kenapa masih terjadi pelarangan dan prmblokiran terhadap perayaan keagamaan seperti ini?
Itu yang tadi saya katakan, kita harus melihat konteksnya. Ini ada suatu proses dialog keberagamaan yang terus berjalan untuk harmoni sosial. Tapi ada hal-hal yang sifatnya ancaman terhadap keamanan dan ketertiban. Apapun kegiatannya, mau konser band, donor darah, reuni SMA atau pengajian, semua orang punya hak untuk melakukan itu. Tapi kalau hitungan aparat keamanan akan bisa memberikan dampak yang berbahaya itu harus kami antisipasi. Itu konteksnya.
Banyak kalangan berharap Anda sebagai tokoh muda bisa membawa perubahan dalam banyak hal di Kota Bogor, tapi menangani kasus seperti ini Anda malah tunduk dan tak berdaya untuk menegakkan konstitusi. Komentar Anda?
 Apa yang dimaksud dengan perubahan? Dan bagaimana Anda mendefinisikan tunduk begitu. Saya rasa tidak bisa dilihat dalam potret atau snapshot yang kecil-kecil begitu. Dalam banyak hal saya memilih tidak tunduk.
Bisa Anda beri contoh?
Tunduk terhadap siapa? Untuk kepentingan apa? Semua kan selalu ada alasannya. Persoalan GKI Yasmin, misalnya, saya memiliki satu posisi yang jelas atas dasar data-data yang jelas. Itu saya lakukan dengan risiko, misalnya, kehilangan popularitas dan sebagainya. Dalam hal-hal lain juga seperti itu. Jadi tidak bisa dilihat dan digeneralisir dari satu kasus kemudian menyimpulkan secara umum tentang keberpihakan atau ketidakberpihakan saya.
Dari dua kasus yang ada, GKI Yasmin dan perayaan Asyura ini misalnya, terlihat Anda tidak berpihak kepada kalangan minoritas dan konstitusi. Komentar Anda?
Saya tadi sudah sampaikan banyak hal-hal lain yang terus saya perjuangkan untuk keberpihakan saya kepada minoritas dan keberagaman. Itu juga sebagai suatu realitas yang terus terjadi di Kota Bogor. Misalnya, ada beberapa tempat ibadah seperti wihara di Batu Tulis yang saya bantu perizinannya karena mereka butuh sekali tempat yang lebih luas untuk ibadah.
Kemudian ada gereja di HKBP di Paledang yang saya minta juga untuk dipastikan izinnya diberikan untuk perbaikan dan pembangunan. Karena mereka membutuhkan itu. Tapi kan itu tidak diekspos di media. Saya juga hadir di banyak kegiatan keagamaan non-Muslim.
Dalam konteks GKI Yasmin itu masalahnya apa, ya?
Wah, ini panjang lagi. Nantilah. Kita bicara satu-satulah. Yang pasti, saat ini alhamdulillah saya berkomunikasi dengan sangat baik dengan pihak GKI Pengadilan dan kami menyepakati untuk fokus pada solusi dan tidak memandang ke belakang. Dan saya sebagai walikota menjamin bahwa jemaat GKI Pengadilan ini bisa mendapatkan tempat ibadah yang layak. Karena yang sekarang ini memang sudah penuh dan harus diberikan suatu ruang yang lebih representatif dan lebih layak. Dan kami, Pemkot, berkomunikai dengan sangat baik dengan pihak GKI Pengadilan untuk fokus pada solusi. Tempat yang lebih layak untuk mereka.
Artinya mereka dipindahkan dari gereja yang sekarang?
Sekarang kan GKI Pengadilan. Tetap ada GKI Pengadilan.
Maksud saya, GKI Yasmin sebagai bagian dari GKI Pengadilan? Jadi solusinya adalah keduanya digabungkan?Â
Ini kan mereka ada di GKI Pengadilan. Nah, ini tetap gereja. Tapi mereka perlu tempat yang lebih luas. Kesepakannya, kalau di situ kan agak sulit untuk diperluas lagi karena tempatnya sudah tidak mungkin. Berarti harus di tempat lain. Tidak di jalan Pengadilan. Kita fokus ke situ soal GKI Pengadilan.
Terakhir, beberapa kalangan mengatakan bahwa surat ini sifatnya bukan imbauan tapi pelarangan paksa yang dilakukan Pemkot Bogor. Komentar Anda?
Sekali lagi, lihat konteksnya. Itu untuk keamanan dan ketertiban. Ini bukan persoalan tentang akidah. Tapi larangan demi keamanan dan ketertiban. Konser musik juga bisa dilarang karena kemanan dan ketertiban. Bahkan pernah kelompok tertentu yang kerap mengadakan tabligh akbar di lapangan Sempur tidak kami izinkan karena kemanan dan ketertiban. Pernah ada beberapa kegiatan juga tidak kami izinkan karena kemanan dan ketertiban.
Itu mahal sekali. Dan tidak mudah untuk menciptakan suasana yang tertib, aman, nyaman bagi warga. Itu modalitas untuk bergerak maju. Itu pertimbangan yang seringkali tidak dilihat secara utuh. (HJA, dari MadinaOnline.id)
Leave a comment