KUPAS KOLOM: NEOM: Megalomania MBS Runtuh oleh Bom Tarif Donald Trump

Oleh Muhlisin Turkan, HUMAS DPP Ahlulbait Indonesia
Di gurun tandus yang telah lama kehilangan wahyu, seorang pangeran dari istana megalomania bernama Mohammed bin Salman (MBS) bermimpi: “Akan kubangun surga di padang pasir.”
Dan seperti biasa dalam dunia kapitalisme neoliberal, mimpi itu bukan datang dari ilham kenabian, tapi dari katalog Amazon, Pitch Deck McKinsey, dan algoritma Google Earth.
NEOM, situs yang terletak di Provinsi Tabuk, Saudi Arabia, berada di ujung utara Laut Merah, tepat di timur Mesir melintasi Teluk Aqaba dan selatan Yordania, dirancang sebagai permata mahkota Visi 2030. Total wilayah yang direncanakan mencakup 26.500 km² (10.200 mil persegi), cukup luas untuk menampung kota-kota besar di Eropa. Proyek ini, sang mahakarya futuristik senilai US$500 miliar (itu dulu), kini resmi naik kelas menjadi utopia bangkrut paling mahal dalam sejarah dunia. Berkat audit mengejutkan dan realitas harga minyak yang menjatuhkan, biaya NEOM membengkak dua puluh kali lipat menjadi US$8,8 triliun (New Civil Engineer, 2025) (https://eandt.theiet.org/2025/03/10/neom-gigaproject-reportedly-turning-financial-disaster-estimated-costs-soaring-88).
Sebagai gambaran: angka itu delapan kali anggaran militer AS tahunan, atau cukup untuk membiayai transisi energi Jerman hingga 2040. Namun tak semua angka bisa disulap jadi keajaiban. Di atas peta ia mungkin tampak seperti Atlantis modern, tapi di atas neraca keuangan, ia lebih menyerupai lubang gelap fiskal. Utopia digital ini sedang tenggelam bukan karena perang atau embargo, melainkan karena tarif Trump, harga minyak yang anjlok, dan laporan audit yang lebih jujur daripada semua pidato Pangeran.
Ketika Tarif Trump Mengamputasi Megalomania
Donald Trump: ikon dagang proteksionis yang kini menjelma jadi dewa perang tarif, menghantam bukan hanya China atau Meksiko, tapi juga sekutu kesayangannya di Riyadh. Setiap baut, beton, dan kabel fiber optik untuk NEOM kini dikenakan tarif dobel-tripel saat melintasi pelabuhan AS. Maka tercekiklah NEOM, bukan oleh bom atau embargo, tapi oleh dokumen bea cukai (The Sun, 2025).
Tarif Trump bukan sekadar kebijakan fiskal, tapi refleksi dari sistem yang menolak utopia selain milik dirinya sendiri. Di sinilah NEOM menemukan paradoks tragisnya: ia ingin menjadi lambang masa depan, tapi terikat oleh hukum lama imperialisme ekonomi yang digerakkan oleh ego dan tarif.
Begitu rapuhnya sebuah utopia silicon-based jika ia dibangun di atas fondasi minyak dan janji palsu kapitalisme. Bahkan Simon Williams dari HSBC mengingatkan: belanja kerajaan melonjak, pendapatan non-minyak tersenyum sebentar, lalu ditekan realita harga Brent yang anjlok ke US$64 (The Sun, 2025). Mimpi digital pun tenggelam di bawah pasir harga pasar.
Ironisnya, sang pangeran futuristik kini makin tergantung pada minyak, komoditas yang selama ini ia klaim ingin tinggalkan. Itulah ciri khas kapitalisme otokratis: berbicara tentang transisi, sambil tetap menghisap sumur sampai kering.
Visi 2030: Ekspansi Distopia, Dipoles Konsultan
Visi 2030 sesungguhnya bukan roadmap pembangunan, melainkan PowerPoint kolonialisme gaya baru. Ia menjanjikan surga canggih tanpa manusia, kota pintar tanpa demokrasi, dan investasi raksasa tanpa transparansi. Seolah-olah MBS ingin membuktikan: Anda bisa menyusun megaproyek dengan miliaran dolar dan tetap tidak belajar dari nasib Dubai, Las Vegas, atau Pyongyang.
Audit yang didukung McKinsey sendiri menyatakan bahwa rencana bisnis NEOM “tidak realistis” dan “dimanipulasi”. Di sinilah tragedi berubah jadi lelucon. Ketika konsultan kapitalis mulai angkat tangan dan menulis laporan yang jujur, bisa dipastikan: neraka telah menyentuh proyek surga (Wall Street Journal, 2025; New Civil Engineer, 2025).
NEOM: Versailles di Padang Pasir
NEOM bukan Dubai 2.0, melainkan Versailles di padang pasir: megah, tak berguna, dan dibangun di atas penderitaan rakyat. Menurut Amnesty International (2024), lebih dari 20.000 warga suku Huwaitat telah digusur secara paksa untuk membuka jalan bagi proyek ini; sebuah “pembersihan etnis terselubung”. Di sisi lain, Human Rights Watch (2025) melaporkan bahwa 65% pekerja NEOM adalah buruh migran yang upahnya ditahan hingga 6 bulan.
Ini adalah kota masa depan yang dibangun dengan sistem perbudakan gaya baru.
Elon Musk dan Zuckerberg Bertemu Firaun
Dunia telah menyaksikan banyak firaun digital, dari Elon Musk hingga Zuckerberg, tetapi hanya MBS yang mencoba membangun “Mesir Baru” di padang pasir Arab, dengan robot anjing, hukum syariah yang disemir liberal, dan stadion tanpa penonton. Dan kini, dengan utang yang menggunung dan defisit menembus US$26 miliar, NEOM akan menjadi piramida postmodern yang membebani rakyat Arab, sambil tetap memanjakan investor global (The Sun, 2025).
Kita hanya bisa bertanya: Apakah ini masa depan yang dijanjikan untuk dunia Arab? Utopia gersang yang ditopang tarif Trump, utang IMF, dan mimpi-mimpi gila ala Pangeran Disney dari padang pasir?
Jika Firaun membangun piramida untuk mencapai langit, MBS membangun NEOM untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi pasir waktu tak pernah berbohong, ia akan mengubur yang palsu, seberapa pun megahnya.
Antara Manfaat dan Malapetaka
Pendukung NEOM berargumen bahwa proyek ini telah menciptakan lebih dari 12.000 lapangan kerja di sektor teknologi dan mendorong riset energi hijau. Tapi pertanyaannya: jika itu benar, apakah manfaatnya sepadan dengan penggusuran massal, utang negara yang melilit generasi mendatang, dan kontradiksi moral yang melekat pada fondasinya?
Referensi
1. New Civil Engineer. (2025). NEOM megacity’s cost balloons to $8.8tn amid concerns over manipulation.
2. The Sun. (2025). Saudi’s $8.8trillion NEOM megacity on brink of collapse as Trump’s tariffs choke supply lines.
3. Amnesty International. (2024). Displacement and Rights Violations in NEOM.
4. Human Rights Watch. (2025). Migrant Labor Abuses in NEOM Project.
Leave a comment