Kolom: Kebijakan Investasi Harus Berpihak pada Pelaku Domestik untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

DR. Anthony Budiawan - Managing Director PEPS( Political Economy and Policy Studies)

Kolom oleh Anthony Budiawan*)

 

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan maka kebijakan investasi harus melibatkan dan memberi keberpihakan kepada pelaku ekonomi domestik.

 

Pemerintah tidak boleh hanya memberi karpet merah kepada investor asing, tetapi harus memberi keberpihakan kepada pelaku domestik, antara lain, memberi stimulus dan akses finansial kepada perusahaan kecil dan menengah, dan bukan malah menghambatnya.

 

Pemerintah harus bisa memberlakukan kebijakan untuk meningkatkan daya saing internasional bagi perusahaan kecil dan menengah agar dapat meningkatkan ekspor. Antara lain memberi asistensi dalam proses produksi untuk meningkat kualitas agar dapat memenuhi standar internasional, atau memberi subsidi ekspor untuk meningkatkan daya saing khususnya kepada pelaku ekonomi kecil dan menengah

 

Pertumbuhan ekonomi yang tak inklusif akan memberi dampak pertumbuhan ekonomi akan tertatih-tatih, dan ketimpangan pendapatan dan kekayaan akan semakin lebar.

 

Pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor komoditas sumber daya alam dan mineral. Kenaikan harga komoditas memicu pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Tetapi sebaliknya, ketika harga komoditas turun seperti terjadi saat ini, pertumbuhan ekonomi tertekan. Sektor komoditas ini sekaligus memperlebar jurang kesenjangan sosial

 

Dia berharap pemerintah bisa memberi akses ekonomi secara adil kepada seluruh masyarakat, khususnya lapisan bawah. Akses ekonomi harus terbuka lebar untuk mayoritas penduduk Indonesia, termasuk akses faktor produksi (lahan) dan akses finansial.

 

Pertumbuhan ekonomi selama ini tidak inklusif, karena masih ditemukan diskriminasi ekonomi antara pemodal besar versus rakyat.

 

Distribusi lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan dikuasai oleh segelintir orang saja yang bisa mendapat puluhan, ratusan dan bahkan jutaan hektar. Disisi lain, distribusi pendapatan juga semakin timpang.

 

Sekitar 168 juta penduduk atau sekitar 60,5 persen dari jumlah penduduk pada 2022 mempunyai pendapatan kurang dari Rp1,1 juta rupiah per orang per bulan. Berdasarkan pendapatan, maka koefisien ketimpangan pendapatan (GINI) mencapai paling sedikit 0,55. Ini artinya, sangat timpang dan rawan konflik sosial.

 

*) – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

 

 

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*