Kolom: Perihal Anggaran, Makan Siang dan Susu Gratis Tak Mudah Direalisasikan
Kolom oleh Hamdani*)
Soal ketersediaan anggaran, program populis ‘ makan siang dan susu gratis’ ini tidak mudah untuk direalisasikan.
Apabila ditinjau dari tata kelola APBN, maka konstruksi hukum administrasi keuangan sangat sulit diterapkan karena kebutuhan pelaksana program sampai ke tingkat desa. Untuk makan siang tidak mungkin dapat dianggarkan dan dieksekusi anggarannya dari APBN kementerian/lembaga yang ditunjuk di pusat.
Alasannya, barang yang dibagikan kepada masyarakat tidak berupa bahan pangan seperti sembako dan beras, melainkan dalam bentuk makanan siap saji.
Sebagai entitas pemerintah terendah, kegiatan ini hanya dapat dilaksanakan pada tingkat desa dan kelurahan. Apabila dilakukan oleh satuan pemerintahan terkecil, maka dana APBN harus disalurkan melalui transfer dana ke daerah dan dana desa.
Untuk masyarakat penerima yang berada di kawasan desa, maka kebutuhan makan siang disalurkan melalui dana desa. Sedangkan masyarakat penerima yang berada di kawasan perkotaan, penganggaran dan pencairan program tersebut dilakukan melalui dana alokasi umum (DAU) khusus dana kelurahan.
Sedangkan untuk program susu gratis dapat dilakukan proses pengadaannya secara terpusat, misalnya melalui Badan Pangan Nasional atau lembaga lain yang ditunjuk.
Problem selanjutnya adalah mekanisme penyaluran susu tersebut sampai ke tingkat kelurahan dan desa sebagai ujung tombak penyalurannya. Potensi korupsi dapat terjadi pada tahap pengadaan dan pendistribusian susu tersebut. Selain itu, program ini berpotensi menimbulkan defisit neraca perdagangan akibat impor untuk pemenuhan kebutuhan susu.
Risiko yang bakal dihadapi adalah potensi terjadinya korupsi oleh aparat desa dan kelurahan. Sebagai perbandingan, pada tahun 2023 dengan realisasi dana desa sebesar Rp54,71 triliun saja telah menyandera kepala desa pada beberapa wilayah untuk memenangkan paslon 02. Dapat dibayangkan tambahan dana yang disalurkan sebesar Rp460 triliun atau 632,74% akan menimbulkan permasalahan akuntabilitas prosedur pengadaan, pendistribusian, dan pembayaran.
Dari analisis ketersediaan anggaran, dapat dipastikan APBN 2025 tidak memungkinkan menyisihkan belanja kebutuhan makan siang dan susu gratis.
Anatomi belanja APBN mencerminkan keterbatasan ruang fiskal karena besarnya beban belanja wajib dan belanja mengikat yang harus dialokasikan. Belanja wajib pendidikan dan kesehatan saja menyedot angggaran belanja hampir sepertiga belanja APBN. Selain itu, mekanisme dan prosedur pencairan dana APBN tidak memungkinkan disentralisasikan, sehingga penyaluran melalui dana desa dan DAU kelurahan berpotensi menciptakan peluang korupsi yang sulit dikendalikan.
*) – Akademisi Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas/ Pakar Keuangan Negara dan Daerah
Leave a comment