KUPAS KOLOM: Sebuah Kisah Perumpamaan Bagi Konflik Israel-Palestina

Oleh Hasan J.A.*
Bayangkan sebuah rumah yang ditinggali oleh sebuah keluarga besar selama ratusan tahun. Rumah itu berada dalam sebuah pemukiman luas. Surat-surat rumah itu, sepanjang sejarah keberadaan rumah itu, kerap berpindah tangan dari satu pemilik ke pemilik lainnya, tapi keluarga yang menghuni rumah itu tidak mengalami terlalu banyak gangguan, dan tidak pernah diusir dari rumah itu selama ratusan tahun.
Hingga suatu hari, setelah Perang Dunia pertama, kepemilikan rumah tersebut berpindah tangan dari “Turki” kepada “Inggris”, yang saat itu merupakan salah satu keluarga terkaya dan terkuat di pemukiman itu. Setelah perpindahan tangan itu, mulailah penderitaan para penghuni rumah tadi.
Pertama, rumah itu dibelah menjadi dua bagian yang sama besarnya. Lalu didatangkanlah orang-orang luar oleh sang pemilik baru untuk menempati salah satu bagian rumah itu. Sementara itu, anggota keluarga penghuni asal rumah itu pelan-pelan digeser ke bagian lain, hingga akhirnya setengah rumah itu dikuasai oleh para pendatang baru, dan penghuni lama hanya menempati setengah dari rumah mereka. Lalu surat-surat rumah itu dipecah menjadi dua bagian dan diberikan kepada masing-masih penghuni di kedua belah rumah itu.
Namun, para pendatang baru itu menganut sekte dari sebuah agama yang menurut kitab sucinya, dalam penafsiran mereka, rumah itu merupakan rumah suci yang seharusnya milik mereka sepenuhnya, dan orang lain tidak berhak menguasai sejengkal pun dari rumah itu.
Dengan keyakinan itu, mereka pun mulai mengusir penghuni lama, dan sebagian pun dibunuh. Banyak dari anggota keluarga penghuni lama itu terpaksa mengungsi ke rumah-rumah tetangga.
Prihatin dengan situasi ini, para tetangga pun memutuskan untuk menyerang rumah itu dan memukul mundur para pendatang baru agar kembali ke bagian rumah mereka. Namun karena para tetangga itu tidak pandai berkoordinasi, sedangkan para pendatang baru mendapat dukungan dari anggota keluarga mereka yang berpengaruh di rumah-rumah lain di pemukiman itu, serangan para tetangga itu berhasil dihalau. Selain itu, walau para tetangga itu bekerjasama, para penyerang itu berjumlah sedikit, sedangkan hampir semua penghuni baru di rumah itu dikerahkan untuk melawan serangan para tetangga.
Karena kesamaan faham politik dan agama, para pendatang baru itu pandai bersatu, sedangkan para tetangga yang menyerang mereka juga terpecah belah dan mengalami kekalahan yang pahit. Sementara itu, dalam kekacauan yang terjadi, para pendatang itu malah berhasil menguasai hampir seluruh rumah itu, dan penghuni lama hanya menempati dua kamar kecil di ujung berlawanan di rumah itu.
Rumah yang mereka tempati selama ratusan, bahkan ribuan tahun, generasi demi generasi, kini dikuasai oleh pendatang baru. Sebagian dari keluarga penghuni lama itu masih mengungsi di rumah tetangga, sebagian lagi melarikan diri dan tinggal di rumah-rumah lain di pemukiman itu. Sebagian memutuskan untuk menerima rumah itu dikuasai oleh pendatang baru, dan hidup sebagai warga kelas rendah bersama para pendatang baru. Sebagian menempati 2 kamar kecil yang disisakan.
Para pendatang baru ini masih meyakini bahwa mereka berhak atas seluruh rumah itu, dan menyusun sebuah rencana untuk membuat kehidupan begitu buruk bagi para penghuni lama yang menempati dua ruangan kecil itu, sehingga mereka tidak tahan dan pindah dengan sendirinya. Mereka memutuskan suplai air, makanan, bahkan listrik, dan berteriak kepada para penduduk lainnya di pemukiman itu bahwa para penghuni lama adalah keluarga teroris, dan mereka berhak membela diri terhadap semua aksi perlawanan yang dilancarkan oleh penghuni lama.
Semua langkah yang diambil oleh para penghuni baru itu didukung oleh keluarga terkaya dan terkuat di pemukiman itu, yang senantiasa membantu mereka dengan uang dan persenjataan dan dorongan politik di antara anggota “dewan warga”.
Sekarang, sebagian besar dari para penduduk di pemukiman itu bingung bagaimana solusi yang terbaik untuk mengakhiri konflik di antara penghuni lama dan pendatang baru di satu rumah ini. Ada yang berkata sebaiknya penghuni lama menerima keadaan mereka dan diberikan hak milik atas dua kamar kecil itu saja, ada pula yang berkata sebaiknya seluruh rumah itu dikembalikan kepada penghuni lama, dan ada yang mengajukan solusi di tengah-tengah dan mencari jalan untuk mempersatukan mereka semua.
Namun satu hal yang pasti adalah bahwa penguasaan para pendatang baru atas sebagian besar rumah itu diraih dengan cara-cara yang ilegal, melalui pengusiran dan pembantaian, dan mereka senantiasa mendatangkan anggota keluarga mereka dari rumah-rumah lain untuk tinggal di rumah itu agar dapat mengalahkan jumlah populasi penghuni lama, dan memaksa mereka agar menerima kekuasaan mereka atau keluar dari rumah itu.
Pertanyaannya, apakah penghuni lama berhak melawan upaya-upaya kotor dari para pendatang baru? Apakah orang-orang yang berpihak kepada penghuni lama pantas menuntut keadilan atas semua kejahatan yang dilakukan oleh para pendatang baru? Dan pantaskah orang-orang mengatakan bahwa pendatang baru itu “berhak membela diri” atas upaya-upaya perlawanan dari penghuni lama? Solusi yang seperti apakah yang paling adil?
Silahkan jawab sendiri.
Dalam kisah perumpamaan ini, pemukiman itu menggambarkan semua negara-negara di dunia, dan rumah yang menjadi fokus utama dari cerita ini menggambarkan wilayah Palestina. Para pendatang baru adalah para Zionis yang mendirikan negara Israel. Tetangga-tetangga yang menyerang adalah negara-negara Arab yang menyerang Israel pada tahun 1948 dan 1967. Keluarga terkaya dan terkuat menggambarkan Amerika Serikat, dan “Dewan Warga” adalah PBB atau komunitas internasional. Dua kamar kecil di ujung berlawanan “rumah” itu adalah kawasan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kisah perumpamaan sederhana ini dibuat untuk memberikan sebuah visualisasi terhadap konflik Israel-Palestina agar mudah difahami oleh masyarakat yang bertanya-tanya tentang konflik tersebut dan kesulitan memahami latar belakangnya. Semoga bermanfaat.
*Pemimpin Umum Redaksi Kupas Merdeka
Leave a comment