Musik Tradisional Jambi “Kelintang Perunggu” di Ambang Kepunahan

JAMBI (KM) – “Kelintang Perunggu” adalah musik tradisional pra-Islam dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Pada awalnya, musik ini berfungsi sebagai pengiring ritual pengobatan, untuk upacara perkawinan dan upacara adat lainnya bagi masyarakat di pantai timur Jambi, khususnya di daerah Kuala Tungkal dan Muara Sabak yang sekarang telah pecah menjadi 2 Kabupaten, yakni Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Musik Kelintang Perunggu ini terdiri dari sejumlah alat musik:
– Keromong atau kelintang perunggu tujuh pencon, mirip bonang dari Jawa, yang diyakini punya kekuatan magis yaitu jika dibunyikan sembarangan atau pada waktu yang tidak tepat maka sang pemukul bisa “kesurupan”. Kini, alat ini hampir punah dan tinggal dua unit saja yang tersisa.
– Gendang panjang
– Gong dari perunggu seperti Kelintang.
Karena dalam permainan ini didominasi oleh Kelintang maka disebutlah kesenian ini dengan nama Kelintang Perunggu.
Lebih dekat dengan kelintang perunggu khas masarakat pesisir pantai timur Provinsi Jambi ini, Kupas Merdeka baru-baru ini berbincang dengan Busu Pendi, salah seorang budayawan dan juga seniman senior yang masih eksis di Kabupaten Tanjung Jabung Timur membawakan kesenian tradisional Kelintang Perunggu.
Tua di kesenian, demikianlah orang menyebut sosok seniman yang sebenarnya seorang PNS yang sekarang berdinas di Kesbangpol Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Busu Pendi, usianya sekarang sudah di atas 54 tahun, dalam keseharianya waktu yang dimiliki banyak dihabiskan dengan berkesenian tradisional dari kampung halamannya di Muara Sabak yang disebut Kelintang Perunggu itu.
“Spesifikasi Kelintang Perunggu ini, baik dari pembuatan, bahan baku dan juga suara yang dihasilkan, pada umumnya memang bebeda dari banyak alat musik serupa yang ada ditanah air, katakanlah dengan gamelan di Jawa atau talempong di Sumatera Barat. Alat musik perkusi asal pra Islam ini asal muasalnya dari wilayah Thailand selatan, terbuat dari tembaga dengan bunyi tidak berdengung. Kelintang Perunggu ini memang sudah sangat langka sekali, hanya ada 1 di Muara Sabak Timur, 1 di Kuala Jambi Kecamatan Nipah Panjang, ada 1 di Kuala Tungkal,†terang Busu Pendi.
Kesenian tradisional musik kelintang ini biasa ditampilkan di malam tari inai, yaitu malam prosesi pertemuan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, dimainkanlah kelintang perunggu ini, ada juga dimainkan kelintang ini untuk tujuan pengobatan, antara lain untuk mengobati penyakit menahun yang sudah sulit untuk disembuhkan dan penyakit akibat gangguan roh halus, akan tetapi ini sudah jarang digunakan.

Budayawan dari Tanjung Jabung Timur, Busu Pendi (dok. KM)
Melihat fakta di lapangan bahwa kesenian ini secara kuantitas jumlahnya tak bertambah, disamping para pemainnya rata-rata sudah uzur, bahkan sudah banyak pula yang meninggal, Busu Pendi merasa khawatir sekali. “Jika ini tidak segera mendapat perhatian, saya khawatir, kita tidak lagi memiliki ciri khas daerah, maka ini memang akan jadi Pekerjaan Rumah bagi Pemkab untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian Kelintang Perunggu. Demikian juga dengan Kelintang Perunggunya itu sendiri,” sambung Busu.
“Dulu kita pernah pesan di pulau Jawa, setelah jadi ternyata masih ada aroma warna Jawanya, kemudian kita juga pernah membuat di Padang, sama, ada aroma Padangnya disana, kenapa demikian? Karena itu tadi, bahan baku (tembaga) yang digunakan untuk bahan pembuatan Kelintang Perunggu itu aslinya memang tidak sama dengan yang dibuat Jawa maupun Sumatera Barat. Ini masalah, terutama bagi kita yang sudah sangat memahami segala sesuatu tentang Kelintang Perunggu ini. Solusinya mungkin kita (Pemkab Tanjabtim) bisa melakukan penelitian yang mendalam mengenai bahan tembaga yang digunakan, hingga mencarikan solusi alternatifnya agar kelintang perunggu ini bisa diproduksi massal sesuai dengan standarisasi spesifikasinya, baru kemudian disalurkan ke masyarakat, misalkan sekolah-sekolah untuk dipelarari,†lanjutnya.
“Dari 17 pukulan Kelintang perunggu, mampu kita memainkan 8 pukulan saja itu sudah baik, karena sisanya adalah pukulan-pukulan yang berpantang untuk dimainkan disembarang waktu dan tempat, contohnya pukulan kedungkuk. Konon jika ini dimainkan tidak pada tempatnya makan akan berakibat ada warga yang jatuh pingsan, kerasukan dan macam-macam,†pungkas Busu.
Reporter: Deny
Editor: HJA
Leave a comment