Pria Gunungkidul Terancam 5 Tahun Penjara, Mencerminkan Pemerintah Gagal Menjalankan Tugas Konstitusi Pasal 33 dan 34

DR. Anthony Budiawan - Managing Director PEPS( Political Economy and Policy Studies)

Oleh: Anthony Budiawan*)

Penegakan hukum tajam ke bawah, bukan hal baru di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, uang dan kuasa menjadi panglima hukum. Bukan kebenaran dan keadilan.

Kisah pria Gunungkidul mengusik empati kita. Bukan saja si Miskin yang menjerit, seperti penggalan lagu “Balck Brothers”. Kita semua yang mempunyai empati pasti juga menjerit. Pria berinisial M terancam hukuman 5 tahun penjara karena “mencuri” 5 potongan kayu demi makan. Potongan kayu artinya potongan kecil, bukan kayu gelondongan puluhan meter seperti yang kita lihat di bencana Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

https://regional.kompas.com/read/2025/01/18/230702778/kisah-pria-gunungkidul-terancam-5-tahun-penjara-karena-curi-5-kayu-demi

Mencuri” seharusnya juga bukan kata yang tepat untuk Pria M. Mencuri dari siapa? Dari pemerintah? Dari Negara?

Pasal 34 ayat (1) UUD mewajibkan “fakir miskin wajib dipelihara oleh negara”. Pasal 34 ayat (2) kemudian menugaskan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Oleh karena itu, kalau ada rakyat miskin dan tidak mempunyai uang untuk makan, maka sudah menjadi tugas dan tanggung jawab konstitusi pemerintah (negara) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai martabat kemanusiaan.

Di sisi lain, pasal 33 ayat 3 UUD mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Oleh karena itu, mengambil 5 potongan kayu yang tidak bertuan di bumi (hutan) Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan makan, justru memenuhi maksud pasal 33 ayat (3) UUD tersebut, “…. dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmurang rakyat”.

Artinya, “mengambil” 5 potongan kayu sejatinya bukan merupakan kejahatan, tetapi sebagai insting survival bagi manusia, dan bahkan sesuai konstitusi, pasal 33 ayat (3) tersebut.

Sedangkan di sisi lain, mereka, pengusaha, yang mengambil sumber daya alam Indonesia sebanyak ribuan bahkan ratusan ribu hektar malah difasilitasi dan dilegalisasi dengan regulasi dan undang-undang. Mereka kemudian menjadi orang-orang terkaya di bumi Indonesia, bumi yang sudah tidak ada empati bagi rakyat jelata dan rakyat miskin.

Kalau penegak hukum melaksanakan tugasnya dengan rasa penuh empati, seharusnya mereka menanyakan dan menyelidiki apakah benar Pria M tersebut begitu miskin dan tidak mempunyai uang untuk makan.

Kalau benar seperti itu maka penegak hukum berkewajiban melaporkan kepada kepala desa, lurah, camat atau bupati, bahwa ada fakir miskin yang harus dipelihara oleh negara, sesuai bunyi konstitusi. Bukan malah menuntutnya dengan ancaman 5 tahun penjara.

Aparat penegak hukum kita mungkin harus diwajibkan menonton jalannya persidangan hakim Frank Caprio @TheRealFrankCaprio di channel youtube atau instagram yang menggunakan empati dalam melaksanakan tugasnya. Selama menonton.

Yang dimaksud dengan empati adalah kemampuan untuk memahami, merasakan, dan membayangkan diri berada di posisi orang lain, melihat dunia dari sudut pandang mereka, serta terhubung secara emosional pada tingkat yang lebih dalam. Mereka harus bertanya-tanya, apa yang akan mereka lakukan kalau menjadi Pria M?

*)– Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

 

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*


KUPAS MERDEKA
Privacy Overview

This website uses cookies so that we can provide you with the best user experience possible. Cookie information is stored in your browser and performs functions such as recognising you when you return to our website and helping our team to understand which sections of the website you find most interesting and useful.