Dialog Antar Iman untuk Perdamaian Dunia
Kolom oleh Shamsi Ali Al-Nuyorki*
Di antara banyak tokoh Muslim yang aktif dalam dialog lintas agama, saya mungkin termasuk salah satu yang berada di garis depan.
Sebelum tragedi 11 September, dialog antar iman belum begitu populer dan belum menjadi gerakan besar. Namun peristiwa kemanusiaan itu mengubah cara kita berhubungan dan berinteraksi dengan komunitas agama lain. Semua orang menyadari pentingnya membangun relasi harmonis antar umat beragama. Saya adalah salah satu yang merasakan perubahan tersebut secara langsung.
Saya masih mengingat jelas saat pertama kali mendatangi sebuah gereja: Sunnyside Church di Queens, New York, tak jauh dari Masjid Al-Hikmah—sebuah masjid yang dibangun dan dikelola oleh komunitas Muslim Indonesia di kota itu. Hubungan yang terjalin dengan gereja tersebut menjadi langkah awal dari seluruh perjalanan interfaith saya. Sederhana, tetapi membuka mata dan mengubah cara pandang saya tentang relasi kemanusiaan.
Langkah awal menuju Sunnyside Church didorong oleh kesadaran bahwa kita hidup di dunia yang semakin terbuka dan saling terhubung. Tetangga-tetangga kita kini berasal dari berbagai latar belakang, keyakinan, dan agama. Hal ini membuat saya kembali merenungkan ayat ke-13 dari Surah Al-Hujurat tentang “ta’aruf”, atau saling memahami. Ayat itu dimulai dengan panggilan “an-naas”—seluruh umat manusia—sebagai penegasan bahwa ta’aruf harus merentang melampaui internal umat Islam, tetapi juga antarsesama manusia secara universal.
Puncak perubahan cara pandang saya, dan banyak orang lainnya, terjadi ketika tragedi 9/11 mengguncang dunia. Peristiwa menyakitkan itu membuka kenyataan bahwa “ketidaktahuan” manusia terhadap satu sama lain begitu dalam. Karena itu, upaya penting harus dilakukan untuk mengurangi, bahkan menghilangkan ketidaktahuan tersebut. Saat itulah saya bangkit, mengambil langkah konkret untuk memperbaiki dan memperkuat hubungan antaragama.
Pasca 9/11, mungkin karena persepsi bahwa pelakunya adalah Muslim dari Timur Tengah atau Asia Selatan, kantor saya justru terlibat dalam banyak kegiatan penting. Salah satunya adalah mendampingi Presiden George W. Bush dalam kunjungan pertamanya ke Ground Zero. Hanya ada dua Imam yang diundang: Imam Pasha dari Harlem dan saya.
Saya juga mewakili komunitas Muslim dalam doa bersama lintas agama untuk Amerika di Yankee Stadium. Di sana, saya mulai memperkenalkan diri kepada tokoh-tokoh agama besar: Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Buddha, dan Sikh. Banyak yang tertarik karena saya tampil berbeda dari citra umum seorang Muslim atau Imam di mata Barat. Mereka biasanya membayangkan Muslim berasal dari Timur Tengah atau Asia Selatan—dan saya hadir sebagai pengecualian dari pandangan itu.
Meski menghadapi keraguan, komitmen saya untuk membangun hubungan dengan berbagai komunitas agama tak pernah surut. Ada yang menyambut dengan hangat, ada pula yang skeptis. Keraguan itu muncul karena dua hal: pertama, masih ada yang mempertanyakan apakah Muslim benar-benar bisa membangun relasi harmonis dengan pemeluk agama lain. Kedua, sebagian melihat saya belum mewakili komunitas Muslim arus utama.
Perlahan, penerimaan itu semakin luas. Saya telah membangun dialog hampir dengan seluruh spektrum komunitas Kristen. Dengan Katolik, tantangan muncul karena struktur kepemimpinan yang hierarkis. Dengan Yahudi, isu Palestina–Israel menjadi bayang-bayang. Namun usaha terus saya jalankan hingga pintu hubungan dengan komunitas Katolik dan Yahudi semakin terbuka.
Di awal kiprah saya sebagai Imam di Islamic Center of New York, saya terlibat dalam berbagai kegiatan lintas agama yang bergengsi. Pertama, saya duduk di dewan NYC Partnership of Faith, organisasi yang menaungi para pemimpin agama senior di New York. Kedua, saya mewakili Islam dalam dialog tiga agama—Islam, Kristen, dan Yahudi—setiap Hari Thanksgiving di Marble Collegiate Church, Fifth Avenue. Bersama Pastor Arthur Caliandro dan Rabbi Peter Rubinstein, kami berdialog terbuka tentang berbagai isu sosial dan moral.
Yang menarik, dalam perjalanan saya membangun relasi dengan komunitas Yahudi di New York, saya diterima hampir oleh semua aliran: Reform, Conservative, hingga Orthodox. Padahal di antara mereka sendiri, dialog lintas mazhab sering tidak terjadi. Satu-satunya hal yang mampu menyatukan hampir semua kelompok Yahudi adalah isu Israel. Ini mengingatkan saya pada sosok Zohran—yang bagi komunitas Muslim New York mampu menjadi pemersatu di tengah keberagamannya.
Pada 2004, ketika Paus Yohanes Paulus II wafat, saya diundang oleh CBS News untuk wawancara mengenai hubungan Islam dan Katolik. Di situlah saya bertemu Rabbi Marc Schneier, seorang tokoh Yahudi terkemuka di New York. Pada awalnya kami saling mencurigai, namun akhirnya bertemu lagi dan sepakat membangun dialog serta kerja sama memerangi Islamofobia dan anti-Semitisme. Dari situlah fondasi kolaborasi kami berkembang. Untuk isu Palestina–Israel, kami sepakat untuk “setuju untuk tidak sepakat, tanpa saling bermusuhan”.
Rabbi Schneier dan saya kemudian berkeliling dunia—Eropa hingga Asia—mengampanyekan pentingnya dialog dan kolaborasi untuk melawan Islamofobia dan anti-Semitisme. Kami bahkan menulis buku bersama, Children of Abraham: Issues that Unite and Divide Jews and Muslims, dengan kata pengantar dari Presiden Bill Clinton, dan telah diterjemahkan ke tujuh bahasa.
Melalui ini semua, saya ingin menegaskan kepada para mitra dialog lintas iman bahwa komitmen saya bukanlah simbolis atau sesaat. Dialog dan kerja sama ini dibangun atas dasar cinta, kemanusiaan, dan keadilan universal. Namun ketika kemanusiaan dan keadilan dinodai atau diinjak-injak, saat itu pula saya memilih menjaga jarak dari dialog apa pun.
Karena itu, mari kita bangun dialog dan kerja sama yang jujur serta terbuka untuk merawat kemanusiaan, menumbuhkan kasih sayang, dan menjunjung martabat serta keadilan bagi semua manusia. Kita semua, dengan segala keragaman, adalah satu keluarga besar umat manusia. Tinggalkan kesombongan rasial, termasuk kesombongan yang mengatasnamakan agama. Hanya dengan begitu dialog dan kerja sama dapat membawa dunia yang lebih aman dan damai.
*) – Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation.
Leave a comment