Media yang Bekerja Sama dengan Instansi Pemerintah Berpotensi Kehilangan Fungsi Kontrol Sosial

Aktivis Bogor, Hero Akbar N, MM

Kolom oleh Hero Akbar N/ Moses*

Dalam teori dan praktik jurnalistik, media memiliki peran utama sebagai pengawas (watchdog) terhadap kekuasaan — termasuk terhadap pemerintah, lembaga negara, maupun pejabat publik. Namun dalam kenyataannya, ketika media menjalin kerja sama berbayar dengan instansi pemerintah, sering kali muncul konflik kepentingan yang membuat media kehilangan keberaniannya untuk mengkritik.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sebagian media tidak lagi menjalankan fungsi kontrol sosialnya secara independen, melainkan berubah menjadi alat pencitraan bagi pihak ‘yang membayarnya’ (instansi pemerintah/ TNI/ Polri).

Kerja sama antara media dan instansi biasanya meliputi publikasi kegiatan, advertorial, atau penyebaran informasi kebijakan. Secara etis, kerja sama ini sah-sah saja selama tidak memengaruhi independensi redaksi.Namun, masalah muncul ketika:
• Media menghindari pemberitaan kritis terhadap instansi mitra karena takut kehilangan kontrak.
• Redaksi mengaburkan fakta negatif demi menjaga hubungan baik.
• Wartawan diarahkan hanya menulis sisi positif dari lembaga tertentu.

Akibatnya, fungsi pers sebagai penyampai kebenaran dan pengawas kekuasaan menjadi tumpul.
Ketika media menerima bayaran untuk publikasi tanpa menjaga jarak kritis, yang terjadi adalah hilangnya independensi redaksional.

Dampaknya:
• Berita menjadi tidak objektif karena lebih banyak menonjolkan pencitraan.
• Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak diungkap karena dianggap “sensitif” terhadap pemberi dana.
• Kepercayaan publik menurun terhadap media, karena dianggap tidak lagi berpihak kepada kebenaran.

Dalam jangka panjang, praktik ini bisa melemahkan demokrasi, sebab salah satu pilar utama pengawasan publik — yaitu pers — justru ikut berada di bawah kendali pihak yang seharusnya diawasi. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) jelas menyatakan bahwa wartawan tidak boleh menerima imbalan atau tekanan dari pihak mana pun yang dapat memengaruhi independensinya.

Oleh karena itu, media yang profesional harus mampu:
• Memisahkan konten berita dan konten berbayar (advertorial) secara tegas.
• Menjalankan pengawasan terhadap kebijakan publik tanpa takut kehilangan kerja sama.
• Menjaga independensi redaksi meski menjalin hubungan bisnis dengan instansi.

Untuk menghindari praktik “pembungkaman halus” melalui kerja sama publikasi, perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
• Transparansi kontrak kerja sama, termasuk besaran dan bentuk publikasi yang disepakati.
• Pemisahan tegas antara ruang redaksi dan ruang bisnis.
• Penerapan standar etik oleh Dewan Pers agar media tidak terjebak menjadi corong kekuasaan.
• Peran aktif masyarakat dan lembaga pers dalam mengawasi media agar tetap kritis dan independen.

Secara ideal, media memiliki fungsi utama sebagai pengawas kekuasaan (watchdog) yang bertugas mengontrol tindakan pemerintah, lembaga publik, dan pejabat agar tidak menyalahgunakan wewenang. Namun, fungsi itu akan lumpuh ketika media memilih diam karena sudah “dibayar” atau terikat kepentingan ekonomi dengan instansi tertentu.

Dalam kondisi seperti ini, media tidak lagi bekerja untuk publik, tetapi untuk pihak yang memberinya keuntungan finansial. Akibatnya, media kehilangan keberaniannya untuk mengungkap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang merugikan rakyat.

Ketergantungan media terhadap kerja sama berbayar atau kontrak publikasi sering menimbulkan konflik kepentingan. Media yang seharusnya bersikap independen justru menjadi “penjaga citra” pihak yang membayar mereka. Dampaknya:
• Berita negatif disensor atau diabaikan.
• Kritik diganti dengan pujian.
• Kebenaran dikaburkan demi menjaga hubungan baik dengan penguasa.
Hal ini berbahaya karena membuat media kehilangan fungsi moral dan sosialnya sebagai lembaga yang memberi pencerahan dan informasi jujur kepada masyarakat.

Media yang ideal adalah media yang berdiri di atas kebenaran, bukan di bawah kekuasaan. Ia tidak tunduk pada uang, tekanan politik, atau hubungan pribadi dengan pejabat. Media seperti ini akan selalu:
• Mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pemilik modal.
• Menegakkan kebenaran dan keadilan, meski berisiko kehilangan iklan atau kontrak kerja sama.
• Menjadi ruang dialog kritis antara rakyat dan pemerintah.
Hanya dengan cara inilah media bisa menjalankan peran sejatinya sebagai pilar keempat demokrasi, sejajar dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Kebebasan pers bukan berarti media bebas tanpa batas, tetapi bebas dari tekanan ekonomi dan politik. Kebebasan ini hanya bisa dicapai jika media:
• Mandiri secara finansial, tidak bergantung pada dana dari instansi yang diawasi.
• Menjunjung integritas jurnalistik, dengan memisahkan kepentingan bisnis dan redaksi.
• Taat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menuntut kejujuran, keseimbangan, dan tanggung jawab dalam setiap pemberitaan.
Tanpa integritas, kebebasan pers hanya akan menjadi slogan kosong. Tapi dengan etika dan keberanian, media bisa menjadi penjaga nurani bangsa yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran bagi masyarakat.

Ketika media memilih diam karena telah “dibeli,” maka fungsi pers sebagai pilar demokrasi perlahan mati. Namun, jika media tetap memegang teguh kemandirian, etika, dan keberanian moral, maka ia akan menjadi kekuatan yang mampu mengoreksi kekuasaan dan membela rakyat.

Kebebasan pers sejati lahir bukan dari uang atau kekuasaan, melainkan dari kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian untuk mengatakan yang benar.

*)- Penulis: Pemimpin Redaksi kupasmerdeka.com

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*


KUPAS MERDEKA
Privacy Overview

This website uses cookies so that we can provide you with the best user experience possible. Cookie information is stored in your browser and performs functions such as recognising you when you return to our website and helping our team to understand which sections of the website you find most interesting and useful.