Managing Director PEPS: Pemangkasan TKD 2026 Bisa Picu Gejolak di Daerah

Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

JAKARTA (KM) – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai langkah pemerintah memangkas anggaran Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 25 persen pada 2026 berpotensi menimbulkan guncangan ekonomi dan sosial di tingkat daerah.

 

Anthony menjelaskan, alokasi TKD untuk tahun 2026 ditetapkan sebesar Rp650 triliun, turun sekitar Rp214,1 triliun dari postur awal Rp864,1 triliun. Jika dibandingkan dengan proyeksi tahun 2025 yang mencapai Rp919,9 triliun, penurunannya bahkan mencapai sekitar 30 persen.

 

“Ini merupakan penurunan paling tajam dalam sepuluh tahun terakhir,” ujar Anthony, Senin (20/10/2025).

 

Ia mengingatkan, sejak 2015 anggaran TKD cenderung stabil di kisaran Rp800–900 triliun, kecuali pada 2021 ketika sempat turun menjadi Rp785,7 triliun akibat pandemi. Karena itu, pemangkasan besar di 2026 dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan fiskal daerah serta berdampak pada kelangsungan pembangunan dan layanan publik.

 

“Daerah yang bergantung besar pada transfer pusat akan terkena imbas paling berat. Banyak program pembangunan bisa tertunda bahkan batal dilaksanakan,” ujarnya.

 

Anthony juga menilai tekanan fiskal akibat penurunan TKD dapat berdampak pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah daerah, kata dia, kemungkinan akan menambah pungutan atau mencari sumber pendanaan dari masyarakat untuk menutup kekurangan anggaran.

 

“Kalau ini terjadi tanpa pengawasan, beban masyarakat akan meningkat di tengah kondisi ekonomi yang melambat. Itu berpotensi memunculkan ketegangan sosial,” tegasnya.

 

Ia menilai pemangkasan TKD tidak bisa semata-mata dilihat sebagai langkah efisiensi, sebab tanggung jawab pemerintah daerah saat ini semakin besar dalam melanjutkan pembangunan dan memenuhi kebutuhan publik.

 

Secara makro, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2026 sebesar 5,4 persen, inflasi 2,5 persen, dan defisit APBN 2,68 persen terhadap PDB. Namun Anthony mengingatkan, kebijakan fiskal yang terlalu ketat justru bisa memperlambat laju ekonomi nasional jika daerah kehilangan daya dorong fiskalnya.

 

“Dampak jangka panjangnya bisa serius — proyek infrastruktur tertunda dan kualitas layanan publik menurun. Pemerintah perlu mencermati hal ini dengan sungguh-sungguh,” katanya.

 

Ia menegaskan pentingnya pemerintah meninjau ulang besaran TKD dan menyiapkan mekanisme transisi yang adil bagi daerah yang sangat bergantung pada dana pusat.

 

“Dialog terbuka antara pemerintah pusat, daerah, dan para ekonom sangat diperlukan agar kebijakan fiskal 2026 tidak menimbulkan krisis baru di daerah,” pungkasnya.

 

Reporter: rso

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*


KUPAS MERDEKA
Privacy Overview

This website uses cookies so that we can provide you with the best user experience possible. Cookie information is stored in your browser and performs functions such as recognising you when you return to our website and helping our team to understand which sections of the website you find most interesting and useful.