Masuk Kamar

Kolom oleh: Saidi Gunjak Ali – Penyuluh Agama KUA Kecamatan Binjai Barat Kab. Binjai

 

Ada satu momen yang sering kita anggap biasa dalam rutinitas harian, tapi diam-diam menyimpan makna yang dalam: saat masing-masing anggota keluarga masuk kamar. Di sanalah hari biasanya diakhiri. Pintu ditutup, lampu dipadamkan, dan dunia luar perlahan ditinggalkan.

 

Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: ketika pintu kamar tertutup, apakah hati kita merasa tenang? Apakah rumah ini benar-benar menjadi tempat pulang, bukan sekadar tempat singgah?

Itulah pertanyaan mendasar dalam membangun keluarga sakinah.

 

Bukan tentang besar rumahnya, mahal furniturnya, atau manis unggahan media sosialnya. Tapi tentang apakah setiap penghuninya merasa aman, dicintai, dan diterima.

 

Sakinah bukan soal tanpa masalah, tapi bagaimana kita menjadikan rumah sebagai tempat untuk pulih, bukan tempat untuk lari.

Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibangun di atas fondasi ketenangan, cinta, dan kasih sayang.

 

Dalam Islam, konsep sakinah sangat dalam maknanya. Allah menyebutnya dalam Al-Qur’an sebagai bentuk rahmat bagi pasangan suami istri, agar mereka saling menemukan ketenangan satu sama lain. Tapi tentu saja, membangun keluarga seperti ini tidak semudah mengucapkannya di atas pelaminan.

 

Kehidupan pernikahan dan keluarga nyata penuh tantangan. Ada perbedaan cara pikir, tekanan ekonomi, urusan anak, hingga luka dari masa lalu yang kadang ikut terbawa.

 

Banyak pasangan muda yang kaget setelah menikah, karena ekspektasi manis berubah menjadi rutinitas yang melelahkan.

 

Saat itulah “masuk kamar” bisa berarti dua hal: momen menenangkan hati atau tempat bersembunyi dari konflik yang belum selesai.

Namun, justru di titik-titik rawan inilah sakinah diuji.

 

Apakah kita cukup dewasa untuk mengalah? Apakah kita punya empati untuk memahami sudut pandang pasangan? Apakah kita bisa menurunkan suara, bukan karena kalah, tapi karena cinta lebih penting daripada pembenaran?

Sakinah tidak datang dari langit secara tiba-tiba. Ia dibangun setiap hari dari komunikasi yang jujur, dari saling memaafkan meski belum diminta, dari pelukan diam-diam yang menyiratkan, “Aku masih di sini bersamamu, meski hari ini berat.”

 

Masuk kamar dalam keluarga sakinah bukan pelarian, tapi kepulangan. Sebuah ruang aman di mana kita bisa melepaskan semua topeng dunia luar dan menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.

 

Tempat di mana suami bisa jujur tentang kegagalannya, istri bisa menangis tanpa malu, dan anak-anak bisa bercerita tanpa takut dimarahi.

 

Sayangnya, hari ini banyak rumah yang kehilangan fungsinya. Semua sibuk dengan gawai, masing-masing tenggelam dalam layar kecil yang membungkam komunikasi nyata. Tak sedikit pula yang memilih diam dan menyimpan segala luka karena takut dianggap lemah. Padahal, sakinah hanya tumbuh dalam kejujuran emosional — ketika setiap anggota keluarga merasa aman untuk berkata, “Aku lelah,” atau “Aku butuh dipeluk.”

 

Keluarga sakinah bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang pilihan sadar untuk tetap saling merawat.

 

Tentang dua orang yang saling belajar menjadi pasangan yang lebih baik, dan orang tua yang terus belajar memahami anak-anaknya. Tentang tidak menyerah membangun rumah yang bukan hanya berdiri di atas tanah, tapi juga di atas cinta dan komitmen.

 

Maka, saat kita masuk kamar malam ini, mari kita bertanya: apakah hati pasangan kita merasa tenang di sisi kita? Apakah anak-anak tidur dengan perasaan aman dan dicintai? Apakah kita sudah memberi cukup waktu, perhatian, dan kasih sayang hari ini?

Jika jawabannya belum, jangan buru-buru merasa gagal.

 

Sakinah adalah perjalanan panjang, bukan garis akhir. Yang penting adalah kita terus melangkah ke arah yang sama, meski pelan, meski kadang harus saling menunggu.

 

Karena pada akhirnya, masuk kamar bukan sekadar rutinitas. Ia adalah simbol dari rumah yang hidup—rumah yang sakinah. Dan itu dimulai dari hati-hati yang saling menjaga, saling menerima, dan saling memilih setiap hari.

 

Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam rumah tangga adalah jalin komunikasi yang terbuka, jujur, dan penuh kasih sayang dengan pasangan dan anggota keluarga lainnya.

 

Dengarkan keluhan dan permasalahan mereka dengan empati. Hindari sikap saling menyalahkan dan menghakimi. Ciptakan lingkungan rumah yang harmonis, nyaman, dan kondusif bagi pertumbuhan spiritual dan emosional seluruh anggota keluarga.

 

Isi waktu luang dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat, seperti berolahraga, berkebun, atau melakukan kegiatan sosial. (HSMY).

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*


KUPAS MERDEKA
Privacy Overview

This website uses cookies so that we can provide you with the best user experience possible. Cookie information is stored in your browser and performs functions such as recognising you when you return to our website and helping our team to understand which sections of the website you find most interesting and useful.