AJI Jakarta Gandeng KOPMAS Gelar Workshop Edukasi Pemenuhan Gizi Anak

JAKARTA (KM) – Persoalan gizi buruk dan stunting pada anak menjadi isu nasional yang penanganannya perlu dilakukan secara berkelanjutan. Pemerintah menargetkan angka prevalensi stunting sebesar 14% pada tahun 2024. Selain melalui kebijakan pemerintah, penurunan prevalensi stunting membutuhkan peran aktif masyarakat dalam hal pola hidup dan asuh anak, terutama para orang tua dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi anak.

Media juga dinilai sangat berperan dalam upaya mengedukasi masyarakat, terutama mengenai pentingnya memberikan literasi gizi yang lebih komprehensif dan mendalam dalam hal pemenuhan gizi anak dari orang tua.

Menimbang pentingnya edukasi pemenuhan gizi terhadap anak, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan KOPMAS (Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat) menggelar Workshop Kesehatan dengan tema “Menganalisis Tren Stunting dan Persoalan Sistematis Gizi Buruk” pada Kamis, 4 Agustus 2022.

Kegiatan workshop yang digelar secara online ini dihadiri oleh Yuli Supriati selaku Sekjen KOPMAS (Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat); dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA (K) sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI); dan dr. Siti Nadia Tarmizi dari Sekretariat Direktoral Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI.

Dalam paparannya, Yuli Supriati mengatakan bahwa permasalahan terjadinya gizi buruk salah satunya disebabkan oleh ekonomi atau kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, serta minimnya edukasi atau pemahaman masyarakat terkait pentingnya mencukupi kebutuhan gizi anak terutama di masa seribu HPK (Hari Pertama Kelahiran).

Yuli juga menemukan laporan kasus stunting pada Dinas Kesehatan di beberapa daerah yang tidak sesuai dengan temuan kasus lapangan. Temuan KOPMAS di Kecamatan Stabat, Langkat, Sumatera Utara, hampir 70% anak di sana mengalami gizi buruk, mengarah ke stunting. Namun, Kepala Dinas Kesehatan Langkat mengklaim daerah mereka tidak ada kasus stunting atau zero stunting, zero gizi buruk.

“Data hanya sebatas angka dan tidak akurat dengan kondisi lapangan yang terjadi, sehingga tidak ada penanganan berkelanjutan”, ujar Yuli.

Yuli pun menyoroti langkah pemerintah dalam menangani stunting yang seharusnya dilakukan secara terpadu dan sistematis. Selain pencegahan stunting oleh masyarakat, pemerintah juga harus bersinergi dalam upaya mengambil langkah strategis agar angka prevalensi data stunting terus menurun.

“Pencegahan dari masyarakat juga harus dilakukan. Namun, saat bicara anak stunting, maka satu-satunya yang diperlukan adalah intervensi, campur tangan pemerintah, dan medis dalam memastikan anak mendapat booster gizi yang cukup,” tegas Yuli

Selain itu, pemenuhan asupan gizi yang optimal juga harus tepat pada peruntukannya. Penanganan khusus terhadap anak stunting perlu melihat kebutuhan dasar nutrisinya yang disesuaikan dengan kondisi sistem metabolismenya. Dokter Piprim dalam hal ini mengatakan, masyarakat perlu membedakan kebutuhan asupan protein dan kalori pada anak. Ia menekankan pentingnya Asam Amino Esensial, sebagai salah satu asupan penting yang harus dikonsumsi anak stunting.

“Protein hewani yang harus ditingkatkan”, tutur dr. Piprim

Lebih lanjut, dr. Piprim mengatakan kampanye media tentang ASI Eksklusif juga penting digaungkan sebagai salah satu langkah pencegahan stunting, sehingga masyarakat dapat mengurangi konsumsi produk Krim Kental Manis sebagai penunjang gizi praktis bagi anak. Terlebih kandungan Krim Kental Manis dalam High Glycemik Index Food (kandungan indeks glukosa) berdampak pada obesitas atau kardiometabolik yang menyebabkan anak berpotensi stunting.

Siti Nadia Tarmizi dalam kesempatan yang sama menanggapi perbedaan antara temuan KOPMAS terkait perbedaan kasus stunting di lapangan dan laporan Dinas Kesehatan. Nadia mengatakan Kementerian Kesehatan mencoba memperkuat sisi pencatatan dengan sistem surveilans gizi melalui E-PPGBM (Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).

Nadia juga menyampaikan beberapa wilayah yang mengalami disparitas prevalensi stunting yang tinggi terdapat pada tujuh daerah di Indonesia, yaitu NTT, Sulawesi Barat, Aceh, NTB, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.

Terhadap wilayah-wilayah tersebut, dr. Nadia mengatakan pemerintah secara aktif melakukan sweeping dan memonitor kasus melalui posyandu dengan cara penguatan sistem surveilans gizi, pelaksanaan audit stunting, dan intervensi stunting dengan kebijakan pengelolaan gizi buruk yang terintegrasi.

Reporter : Sudrajat

Editor : HJA

Advertisement
Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*


%d bloggers like this: