KPAI Minta Kemdikbud Perbaiki Pembelajaran Sejarah, Bukan Dihapus

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti (dok. KM)
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti (dok. KM)

JAKARTA (KM) – Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI sudah membantah akan menghapus mata pelajaran sejarah dari kurikulum pendidikan di Indonesia.

Retno juga mengatakan bahwa yang ingin dilakukan Kemendikbud adalah melakukan penyederhanaan kurikulum. “Kemdikbud akan menempatkan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran pilihan di SMA, bahkan menghilangkannya di SMK,” kata Retno dalam pernyataan pers yang diterima KM siang ini 20/9.

“Rencana perubahan pendidikan sejarah di SMA/SMK tersebut tertuang dalam draf sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tertanggal 25 Agustus 2020. Draf ini beredar di kalangan akademisi dan para guru, ini yang kemudian menjadi polemik di masyarakat,” lanjut Retno.

Dalam pernyataannya, Komisioner KPAI itu menilai bahwa keputusan itu tidak tepat lantaran setiap siswa “berhak” mendapatkan pelajaran sejarah.

“Sebagai Komisioner KPAI, saya menilai keputusan tersebut tidak tepat. Semua anak, baik di jenjang SMA ataupun SMK berhak mendapatkan pembelajaran sejarah dengan bobot dan kualitas yang sama,” ujar Retno.

Menurutnya, ketika para siswa tidak mendapatkan pelajaran sejarah, mereka tidak akan “menghargai sejarah bangsanya”.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya. Bagaimana mau menghargai kalau pelajaran tersebut tidak diberikan. Nilai-nilai yang dipelajari dalam sejarah bangsa merupakan nilai karakter nyata dan teladan bagi generasi muda, pembelajaran sejarah juga dapat meningkatkan apresiasi terhadap karya para pendahulu, memberikan perspektif dan ukuran untuk menilai perjalanan bangsa,” jelasnya.

Namun, Retno, yang pernah mengajar mata pelajaran PPKn selama 24 tahun, mengakui bahwa memang ada muatan-muatan kurikulum sejarah dan materi pelajaran sejarah yang harus diperbaiki, begitupun metode pembelajaran sejarahnya.

“Kurikulum sejarah Indonesia didominasi oleh sejarah perang dan kekerasan mulai dari Perang Bubat, Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Jawa, perebutan tahta Singosari Ken Arok, dll. Barangkali ini perlu diperbaiki agar generasi muda tidak salah menafsir seolah-olah sejarah bangsa kita penuh kekerasan sehingga nantinya dicontoh oleh generasi berikutnya, dikhawatirkan generasi mudanya akan menyelesaikan masalah dengan kekerasan bukan dengan dialog. Padahal pembelajaran sejarah sejatinya dapat menjadi instrumen strategis untuk membentuk identitas dan karakter generasi muda sebagai penerus bangsa,” paparnya.

Ia juga menilai bahwa kurikulum sejarah didominasi oleh sejarah Jawa dan kurang memberikan tempat bagi sejarah wilayah lain, sehingga anak Papua, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dll belajarnya sejarah Jawa, padahal daerahnya juga memiliki sejarah yang layak dipelajari.

Pembelajaran sejarah oleh para guru selama ini menurutnya cenderung hafalan dan bukan pemaknaan dan esensi nilai-nilai apa saja dari suatu peristiwa sejarah tersebut bagi perjalanan bangsa dan bagaimana peristiwa buruk bisa menjadi pembelajaran yang tidak boleh terulang di kemudian hari. “Selama ini, pembelajaran sejarah cenderung membosankan bagi anak-anak karena hanya hafalan seputar apa kejadian, dimana kejadiannya, siapa saja tokoh sejarahnya, kapan terjadinya dan dimana kejadiannya. Bagaimananya dari peristiwa sejarah itu jarang digali dan didalami melalui dialog. Kalau hafalan, cenderung mudah dilupakan dan tidak dipahami makna suatu peristiwa sejarah,” pungkasnya.

Reporter: Sudrajat
Editor: HJA

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*