KUPAS KOLOM: Bogor Kota Ramah Anak?

Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Bogor Brian Samosir
Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Bogor Brian Samosir

Oleh Brian Samosir, Ketua Cabang GMKI Bogor

Bogor kembali meringis. Wilayah yang digaung-gaungkan sebagai kota ramah anak harus menelan pil pahit sebagai akibat ketidaksesuaian antara teori dan kenyataan yang terjadi di lapangan.

Tawuran, ternyata masih menjadi hobi sebagian pelajar di Kota Bogor. Seperti baru-baru ini, dalam sehari saja terjadi dua tawuran beruntun. Pertama, tawuran yang terjadi di Jalan Raya Pandu Raya, Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor hari Minggu (09/02/2020) pukul 04.00 dini hari. Tawuran ini sendiri menewaskan seorang pelajar setelah menerima bacokan di leher, kepala dan tangan.

Kedua, tawuran yang terjadi di Jalan Soleh Iskandar sekitar pukul 03.00 WIB. Tawuran ini menyebabkan seorang remaja terluka pada bagian tangan akibat sabetan celurit.

Jika merunut kebelakang lagi, dengan jumlah tawuran dalam rentan waktu yang relatif singkat, Wali Kota Bogor Bima Arya bisa dikatakan hanya melakukan “Lip Service” ketika berbicara tentang Kota Bogor sebagai kota ramah anak.

Lihat saja, tawuran berujung terenggutnya nyawa seorang pelajar yang terjadi pada Sabtu (25/01/2020) sekitar pukul 01.00 WIB, di Jalan RE Martadinata, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.

Sehari sebelumnya, tawuran yang terjadi di Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Jumat (24/01/2020), juga menewaskan seorang siswa SMK.

Ada juga tawuran pada Selasa (21/01/2020) di Kawasan Cimahpar, di depan Cico Resort, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor dengan hasil tiga korban luka dan satu diantaranya mengalami putus tangan.

Padahal, jika melihat data yang ada, Walikota yang sedang memimpin Kota Bogor untuk periode kedua ini sudah mencanangkan kota ramah anak sejak 2017 (souce: Liputan6.com). Komitmen untuk menjalakan tugas mulia tersebut, rasa-rasanya bergerak naik-turun tanpa adanya konsistensi dalam pelaksanaanya. Berbagai piagam yang sudah diterima belum layak melegitimasi kepantasan Kota Bogor sebagai kota ramah untuk anak.

Lucunya, Wali Kota Bogor malah mengatakan akan memberikan sanksi tegas terhadap sekolah yang siswanya ikut terlibat tawuran. Mengapa hanya sekolah yang disalahkan, ketika seluruh elemen masyarakat termasuk pelajar juga seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota. Terlihat seperti upaya cuci tangan agar tidak disalahkan. Seharusnya jika ingin bersikap adil, siapapun yang punya tanggung jawab baik Pemkot dan/ atau Sekolah harus diberi sanksi jika lalai dalam tugas.

Pada Permen PPPA No. 8 Tahun 2014 Pasal 5 ayat 1 dan 2 tentang kebijakan sekolah rumah anak, tertulis:
(1) Tahapan pengembangan SRA meliputi persiapan, perencanaan, dan pelaksanaan.
(2) Dalam setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak hanya melibatkan satuan pendidikan terkait
serta sumberdaya yang ada di dalamnya namun juga didukung oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan
lainnya.

Secara jelas tertulis, bahwa perbaikan sumber daya manusia – dalam hal ini pelajar – harus dikerjakan bersama dengan planing yang matang dari semua pihak bersangkutan. Mendudukkan satu pihak saja, tidak akan menjamin kesimpulan yang dihasilkan matang dan tepat sasaran. Tawuran adalah masalah bersama.

Koentjoro Soeprapto, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, mengatakan “Ada tiga faktor yang menjadi penyebab tawuran, faktor karena memang diadu, faktor kepentingan, dan dendam lama.” Beliau juga menyampaikan pengakuan dari orang lain termasuk faktor yang menyebabkan tawuran (source: kompas.com).

Jika ditelaah secara luas, penyebab tawuran ini sebenarnya bisa dikerucutkan dalam satu faktor, yaitu kurangnya ruang dan waktu berkumpul dan berinteraksi baik dalam sekolah juga antar sekolah. Terlihat sepele memang, tapi berefek sangat besar bila dilaksanakan secara konsisten.

Indonesia itu budayanya adalah berkumpul. Padahal, setidaknya sejak 2015 Pemkot sangat ligat dalam merenovasi dan membangun ruang-ruang terbuka di Kota Bogor. Taman Kencana, Sempur, Taman Ekspresi, Taman Corat-Coret setidaknya menjadi bukti akan hal tersebut. Taman – taman dibangun, jalan ramah pejalan kaki diperlebar, ruang-ruang nongkrong diperbanyak, sampai-sampai Bima Arya lebih sering dijuluki Kepala Pertamanan daripada Walikota Bogor. Tapi, hal itu belum bisa berkorelasi positif terhadap statistik tawuran di Kota Bogor.

Ruang-ruang terbuka belum dimanfaatkan dengan baik. Seharusnya bisa diciptakan sebuah kerja sama bilateral, baik antar Pemkot dengan Sekolah, ataupun Sekolah dengan Sekolah. Perbanyak kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sebuah interaksi. Entah melalui turnamen olahraga antar sekolah, tukar pelajar, program kegiatan ekskul bersama, dan hal-hal yang menghasilkan interaksi lainnya.

Jika dikemas dengan baik, menarik, inovatif, dan berkesinambungan, kegiatan tersebut bisa menjadi satu upaya yang tepat untuk mengurangi tawuran di Kota Bogor. Dalam konteks lebih lanjut, hal tersebut juga berdampak positif pada pelajar baik secara akademis maupun ekstrakulikuler.

Pemerintah Kota Bogor, Sekolah, dan seluruh elemen terkait sepatutnya melihat titik persoalan dan mencari solusi dengan menggali hal-hal yang paling fundamental terlebih dahulu. Menyelesaikan masalah harus mencabut sampai ke akarnya, bukan sebatas memotong ranting-ranting saja.

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*