FPII: “Rekomendasi Dewan Pers Digunakan Untuk Kriminalisasi Wartawan yang Kritis”

Aksi protes wartawan FPII di gedung Dewan Pers, Jakarta (dok. KM)
Aksi protes wartawan FPII di gedung Dewan Pers, Jakarta (dok. KM)

JAKARTA (KM) – Dunia jurnalis kembali berduka setelah perlakuan keji, diskriminatif dan tidak manusiawi kembali menimpa insan pers. Kali ini, nasib naas menimpa M. Yusuf, wartawan Sinar Pagi Baru yang tewas di dalam tahanan Polres Kota Baru, Kalimantan Selatan, saat menjalani proses hukum atas dugaan pelanggaran UU ITE, Minggu, 10 Juni 2018.

Menyikapi tragedi tersebut, Forum Pers Independen Indonesia (FPII) mengutuk keras kriminalisasi M. Yusuf yang dikabarkan akibat rekomendasi Dewan Pers.

“Miris, tidak menutup kemungkinan setelah ini ada ratusan wartawan yang menunggu giliran, baik pembunuhan karakter maupun secara fisik,” jelas Heryadi, Ketua Deputi Advokasi FPII dalam keterangan resminya yang diterima KM siang ini 12/6/2018.

Atas kejadian ini, menurut Heryadi, kematian M. Yusuf bukanlah semata-mata dukacita insan pers tapi juga menjadi keprihatinan rakyat Indonesia, mengingat pers adalah pilar keempat dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. “Kehidupan dunia pers yang sejauh ini cenderung tidak mendapatkan perlindungan serius dari negara, disinyalir menjadi salah satu penyebab kembali terulangnya peristiwa seperti ini,” tambahnya.

“Hampir semua kasus yang menimpa wartawan, dipaksa menjadi pihak yang bersalah dengan diterapkannya KUHP atau UU ITE, bukan UU No 40 tahun 1999 tentang pers, sementara Dewan Pers lebih memilih posisi aman dengan ikut menghabisi wartawan kritis dan membumihanguskan perusahaan pers tanpa sedikitpun memberi perlindungan,” terang dia.

Menurut Heryadi, Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan pasal 15 UU No 40 tahun 1999, sesungguhnya dimaksudkan untuk mengembangkan kemerdekaan pers, dan bukan sebaliknya, malah jadi badan pembungkam pers.

“Rekomendasi Dewan Pers condong digunakan untuk mengkriminalisasikan wartawan yang kritis tanpa rasa bersalah, tanpa rasa empat, bahkan merasa puas sebagai lembaga super power. Dewan Pers harus mempertanggungjawabkan semua pelanggaran konstitusi dan UU No 40 tahun 1999 yang telah memakan korban insan pers,” tegas Heryadi.

“Oleh karena itu, FPII memandang kondisi saat ini adalah kondisi darurat dimana kemerdekaan pers di cengkeraman orang yang salah, yaitu pengurus Dewan Pers yang tidak profesional dan dapat dianggap melanggar konstitusi.”

“Oleh karena itu, FPII akan merangkul media yang tidak terverifikasi dan akan memberikan perlindungan hukum,” tandas Ketua Advokasi FPII itu.

Reporter: Red
Editor: HJA

Komentar Facebook

Leave a comment

Your email address will not be published.


*