KUPAS KOLOM: Niat Lawan Hoax, Dewan Pers Malah Pertaruhkan Demokrasi

Oleh: Hasan J.A. dan Hero Akbar N. MM, Pendiri KUPAS MERDEKA
Dalam upaya melawan berita bohong atau “hoax” dan ujaran kebencian, Pemerintah melalui Dewan Pers berwacana menerapkan suatu sistem “barcode” untuk diterapkan kepada setiap media yang telah diverifikasi.
Bagi yang tidak berfikir panjang, wacana ini terdengar pantas, dan mungkin menunjukkan keseriusan pihak pemerintah untuk melawan maraknya hoax, khususnya menjelang pesta demokrasi seperti panasnya suasana menjelang pilpres atau pilkada DKI Jakarta tahun ini. Tentu, dengan dibatasinya media, baik secara keras atau secara lunak melalui sertifikasi bagi outlet media, ini akan membuat informasi lebih dapat diandalkan, iya kan?
No way!
Bayangkan, kalau Pemerintah memberikan sertifikasi kepada media-media mainstream, sementara media alternatif yang lebih kecil yang berfokus membongkar, atau dalam istilah kami di KM, MENGUPAS kebobrokan kebijakan pemerintah dan lembaga lainnya di dalam dan luar negeri, tidak akan menerima pengakuan ini, karena terbentur sebuah formalitas atau teknikalitas dalam syarat sertifikasi itu, khususnya dalam segi penggajian bagi wartawan dan masalah keuangan lainnya.
Kalau kita bayangkan ini terjadi di negara lain, seperti Turki, yang sekarang ini pemerintahnya tengah menghadapi kontroversi terkait pemberian kekuasaan lebih bagi Presiden dan pengekangan terhadap Pers, maka kita sebagai penonton dari luar akan menilai bahwa ini hanyalah langkah untuk semakin mempersempit ruang demokrasi.
Lalu kenapa di negeri kita sendiri langkah serupa harus dinilai berbeda?
Ya, wacana sertifikasi pers dengan ‘barcode’ dari Dewan Pers berpotensi melanggar nilai demokrasi. Bukan itu saja, langkah tersebut jelas-jelas melanggar UU Kebebasan Pers, seperti yang diamanatkan dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers: Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan bahwa “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,” Ayat 2 bahwa “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran,” Ayat 3 bahwa “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” dan Ayat 4 bahwa “dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.”
Bahkan langkah tersebut melanggar konstitusi kita, dalam UUD 1945 disebutkan dalam Pasal 28F bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dari itu saja sudah jelas bahwa segala bentuk “verifikasi” maupun “sertifikasi” yang bertujuan menjatuhkan kredibilitas media yang tidak mendapatkannya merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional kita semua, bukan saja perusahaan pers.
Segi Teknis
Tidak semua perusahaan pers mampu bergabung dalam Dewan Pers, khususnya perusahaan-perusahaan pers kecil atau yang merintis, yang belum mampu memenuhi syarat keanggotaan Dewan Pers yang mensyaratkan gaji wartawan dengan angka tertentu, sedangkan banyak perusahaan pers yang kecil bekerjasama dengan wartawan-wartawan yang bekerja secara freelance atau paruh waktu, atau bahkan mengandalkan citizen journalism.
Selain itu, dalih Dewan Pers untuk membatasi pers dengan alasan melawan hoax tidak memiliki dasar yang kuat sama sekali:
1. Tidak pernah ada jaminan bahwa pemberitaan di media mainstrean bebas dari hoax. Seringkali berita media mainstream jatuh dalam sensasionalisme dan sifat partisan, terlebih kalau kita perhatikan bahwa banyak dari pemilik outlet media merupakan politisi dengan agendanya masing-masing.
Selain itu, pemberitaan yang diambil dari media-media luar negeri dalam rubrik-rubrik berita dunia atau berita internasional akhir-akhir ini sering bermuatan hoax karena diambil dari sumber-sumber yang dipertanyakan, khususnya dalam pemberitaan tentang konflik di Timur Tengah seperti di Suriah, Libya, Yaman atau Palestina. Bahkan outlet media kelas dunia seperti BBC, CNN dan Al Jazeera semuanya pernah jatuh dalam perangkap ini, baik secara sengaja atau tidak.
2. Dari sudut pandang bisnis, justru melawan hoax membuka peluang baru dalam menciptakan rubrik anti-hoax seperti yang dilakukan oleh sebagian outlet media, sebut saja detikcom yang membuka rubrik “Hoax or not”. Media justru berpeluang dan harus membantu mengubah ‘mindset’ masyarakat agar berfikir kritis terhadap kabar yang sampai kepada mereka. Kita harus membuat orang ketika menerima berita, berfikir bahwa mereka dapat memeriksa keabsahan berita tersebut melalui rubrik anti-hoax di media tertentu, sehingga masyarakat luas pun menjadi lebih kritis.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat ada sebuah website yang sangat terkenal yang menjadi referensi masyarakat banyak ketika sebuah kabar sampai kepada mereka melalui pesan berantai atau media sosial lainnya. Website itu adalah snopes.com, yang mengulas mitos-mitos yang beredar di tengah masyarakat. Ketika menerima sebuah pesan berantai, maka pantas mereka mengatakan, “check it on snopes!”, periksalah di snopes! Sebuah website yang dulunya hanya dioperasikan oleh sepasang suami istri kini telah berkembang menjadi ikon besar.
3. Paling parahnya, tidak ada jaminan sama sekali bagi masyarakat bahwa keanggotaan Dewan Pers memberi kredibilitas, atau menjamin apa-apa bagi perusahaan pers anggota Dewan Pers itu sendiri, khususnya di zaman internet saat ini, dimana popularitas dapat memberikan kredibilitas walaupun itu mungkin tidak benar. Popularitas dapat dicapai melalui strategi SEO (search engine optimization) yang efektif atau periklanan yang masif atau konten yang provokatif, atau kombinasi dari semua itu.
Kalau Dewan Pers memang ingin memberikan kontribusi yang positif bagi pers di Indonesia, hendaklah mereka membantu perusahaan-perusahaan pers yang hendak bergabung dan mempermudah prosedurnya, dan memberikan pembinaan yang lebih terbuka melaui pelatihan yang terbuka, dan tidak membuat wacana-wacan aneh yang berpotensi represif dan justru mengkhianati demokrasi, yang seharusnya mereka perjuangkan.
Leave a comment